Blogger Template by Blogcrowds

“Memaafkan itu hebat, tetapi apakah itu juga merupakan sebuah kebijakan yang bagus?” (Justin M.Ross)

Salah satu agenda program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2014-2019 yang diharapkan diselesaikan dalam tahun 2016 ini adalah pembahasan UU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Jika delapan tahun lalu pemerintah mendeklarasikan agenda pengampunan pajak dengan skala yang lebih kecil, yang populer dengan istilah sunset policy, tahun ini pemerintah mengusung agenda perpajakan yang lebih besar berupa pemberian pengampunan pajak yang lebih dikenal disebut dengan istilah Tax Amensty. Sebagai catatan, Program Sunset policy tahun 2008 berhasil meningkatkan jumlah wajib pajak sebesar 5,36 juta orang dan tambahan pendapatan sebesar 7, 46 triliun rupiah (582 juta dolar AS). Tampaknya, pemerintah ingin mengulang kisah sukses serupa dengan program yang lebih jumbo. Tax Amnesty bukanlah inisiatif baru dan asing. Ia telah ada semenjak 200 tahun sebelum masehi yang diawali di Mesir. Catatan resmi permulaan program ini ada di British Museum.
Berbeda dengan sunset policy yang hanya memberikan pengampunan terhadap sanksi adminsitrasi, Tax Amnesty menyediakan kesempatan (harusnya satu kali) kepada pengemplang pajak untuk membersihkan akun mereka dengan membayar kembali pajak terutang dengan pengurangan atau penghilangan pinalti dan tanpa menjadi subjek kriminal. Penunggak pajak dapat menikmati fasilitas ini dengan syarat bersedia mengungkapkan kesalahan dan pengabaian pajak yang dilakukan di masa lalu. Kegagalan pemenuhan target penerimaan pajak tahun lalu yang diwarnai dengan mundurnya Dirjen Pajak tampaknya semakin menguatkan niat pemerintah untuk menggolkan program ini. Apalagi, tahun lalu terdengar kabar bahwa keuangan negara sempat mengalamani shortfall. Pemerintah, seperti disampaikan Menteri Keuangan, menergetkan penerimaan sebesar US$ 294, 22 miliar dari Program ini.
Pemerintah mengimplementasikan program ini dengan harapan mendapatkan tambahan penghasilan dari tiga sumber potensial. Sumber pertama adalah tambahan pendapatan domestik yang berasal dari penghasilan yang dilaporkan dari sirkulasi bisnis ekonomi bawah tanah (underground economy). Dari penjelasan ini tersirat bahwa tujuan pengampunan pajak bukan hanya sekedar meningkatkan penerimaan negara akan tetapi juga untuk mengurangi secara permanen aktivitas ekonomi bawah tanah. Pengalaman di Turki seperti dipaparkan dalam tesis Huseyin Kara (2014) merupakan salah satu contoh keberhasilan amnesti pajak mengurangi shadow economy. Sumber kedua berasal dari masuknya modal melalui repatriasi sejumlah uang, yang lazimnya berjumlah besar, yang sebelumnya ditransfer secara ilegal ke luar negeri. Selain utang pajak yang diendapkan, larinya modal ke luar negeri menghilangkan potensi penerimaan pajak yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pada tahun 1977-1987 saja, di Meksiko terdapat 84 miliar dolar dana yang lari ke luar negeri, berikutnya secara berurutan 58 miliar untuk Venezuela, 46 miliar dolar untuk Argentina dan 31 miliar dolar dana keluar secara ilegal dari Brazil. Sumber penghasilan tambahan potensial ketiga adalah dari pembayaran kembali pajak-pajak yang tidak/kurang bayar sebelumnya. Program amnesti pajak mendorong pembayaran penuh dengan memberikan keringanan atau penghilangan pinalti.
Upaya pencarian sumber pendapatan baru melalui program pengampunan ini sudah jamak ditempuh di berbagai negara. Data menunjukkan bahwa program ini terbukti efektif di beberapa negara dan state di Amerika Serikat. Sebagai contoh, Negara Bagian NewYork memperoleh tambahan pendapatan sebesar 401 juta dolar AS pada program Tax Amesty Tahun 1981. Berikutnya berturur-turut California, Illinois dan Michigan yang memperoleh lebih dari 100 juta dolar dari prgram ini. Namun, kisah pengampunan pajak tidak melulu soal keberhasilan. Negara Bagian Dakota Utara, Idaho, Texas, Kansas dan Missouri hanya mampu menghasilkan tidak lebih dari 1 juta dolar. Dari perspektif cost-benefit, biaya kegagalan barangkali melebihi manfaat yang dihasilkan program ini. Dalam Perspektif yang lebih luas, temuan dari Hasseldine (1998) menunjukkan dari 43 program amnesti di 35 negara bagian antara tahun 1982-1997, penerima pendapatan tertinggi tidak melebihi 2,6% dari total penerimaan pajak sementara yang paling rendah hanya berhasil mengumpulkan sekitar 0,008%.
Di Level negara, Italia meluncurkan program pengampunan pajak tahun 2001 yang dinamai scudo fiscale. Selama 6 bulan program amnesty dijalankan, Italia berhasil menarik 56 miliar Euro dana yang disembunyikan para pengemplang pajak dan menghasilkan tambahan pendapatan sebesar 1,4 miliar Euro (setara dengan 0,4% dari total pendapatan pajak). Selepas keberhasilan ini, Italia merilis program baru yang disebut Super-scudo, yang memberikan kesempatan remisi lebih luas bagi perusahaan-perusahaan. Jerman di bawah komando konselir Gerhard Scroeder pun berhasil membawa pulang dana yang disembunyikan di luar negeri secara signifikan melalui program Tax Amnesty mereka di tahun 2002. Namun, seperti halnya cerita kegagalan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, kisah serupa juga terjadi di level negara seperti di Argentina (1987) dan Prancis (1982 dan 1996). Selain kegagalan membangun kepatuhan pajak dan pencapaian target penerimaan dalam negeri, ketidakberhasilan menarik pulang dana yang disembunyikan di negara-negara “ramah pajak” juga terjadi.
Mengacu kepada berbagai data dan fakta tersebut, pemerintah mau tidak mau harus aware dengan beragam faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan program tersebut, termasuk perdebatan mengenai keefektifan tax amnesty sebagai fiscal tool pemerintah. Faktor-faktor tersebut tidak hanya mencakup faktor-faktor ekonomi namun juga faktor-faktor non ekonomi seperti rasa keadilan dan emosi.

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda