Blogger Template by Blogcrowds

Kurikulum pendidikan di Indonesia (khususnya untuk strata 1) yang masih mengharuskan penulisan skripsi sebagai tugas akhir seringkali menjadi kendala tersendiri bagi mahasiswa. Hal ini dapat dimaklumi karena tidak semua mahasiswa berbakat dalam bidang penelitian dan urusan tulis-menulis. Bahkan, mungkin bukan hanya mahasiswa, sebagian dosenpun tidak terlalu menggandrungi urusan yang satu ini sebagai bagian menarik dari aktivitas ilmiah mereka. Selain urusan bakat, keterbatasan literatur, basis-data dan lingkungan akademis yang belum beriklim riset diduga kuat ikut mempengaruhi persoalan ini
Salah satu permasalahan awal bagi mahasiswa di semua level, mulai dari strata 1 sampai strata 3 sekalipun adalah sulitnya menemukan masalah penelitian yang ingin diangkat. Ah, Hal ini mengingatkan saya pada gurauan seorang dosen metolodogi penelitian di kampus tempat saya belajar. Beliau berujar, "Kalian dalam masalah besar ketika tidak punya masalah (penelitian)".
Well, kembali ke topik. Bagi mahasiswa jurusan akuntansi, mengapa anda tidak berpikir untuk meneliti pada bidang perpajakan saja untuk skripsi anda? Mungkin anda akan bertanya apa menariknya penelitian pajak? Ok, saya akan beberkan beberapa alasan mengapa penelitian pajak itu menarik untuk dilakukan?. Pertama, pajak itu sendiri melingkupi aktivitas keseharian kita. Tepatlah kiranya seperti yang pernah diungkapkan salah satu presiden terpopuler AS, di dunia ini tidak ada yang pasti,kecuali bayar pajak dan mati. Nah, sekarang lihat kehidupan anda dari bangun tidur sampai tidur lagi. Kedua,dari sisi yang lebih makro, postur APBN di negara kita dibentuk secara substansial oleh penerimaan dari pajak. Maka mengetahui hal ini lebih jauh tentu seharusnya menarik bagi kita. Kita dapat memulainya dengan beberapa pertanyaan mendasar seperti, mengapa target APBN tidak pernah tercapai? mengapa orang-orang enggan untuk patuh? bagaimana pemerintah mengatasi ketidakpatuhan yang ditunjukkan oleh wajib pajak, apakah konsultan pajak justru membuat wajib pajak lebih agresif? mengapa korupsi yang merajarela dapat dihubungkan dengan pajak? atau mempertanyakan mengapa pemerintah sampai memberikan pengampunan?.
Alasan ketiga, perpajakan telah diakui sebagai bagian dari ilmu akuntansi. Tidak jarang kita menemui orang yang mempertanyakan penelitian pajak ini pertanyaan yang kesannya mendasar, akuntansinya dimana? AAA sebagai salah satu organisasi profesi akuntansi telah mengakui pajak sebagai salah satu bagian dari ilmu akuntansi. Abbott (1998) pernah mengatakan tax is often considered as a core area of accounting along with auditing. Beberapa argumen pendukung untuk alasan ketiga ini antara lain adanya Kompartemen Akuntan Pajak dalam organisasi profesi akuntansi (IAI), pengelolaan beberapa jurnal perpajakan berada di bawah naungan profesi akuntansi. Sebagai contoh, Journal of American Accounting Taxation (JATA) dikelola oleh AAA, sama  halnya dengan The Accounting Review. Masih ragu? Semoga tidak. Alasan keempat mengapa meneliti pajak. Dari perspektif sudut pandang, metodologi dan teori penelitian pajak dalam akuntansi sangat menarik. Dari sudut pandang, kita dapat meneliti pajak dari perspektif keperilakuan maupun perspektif keuangan. Bagi anda yang terbiasa dengan angka-angka pasar modal, silakan lakukan penelitian dari kesukaan anda tersebut. Artikel Shevlin dan Shackelford (2001), Hanlon dan Heitzman (2010) atau Graham, Raedy dan Shackelford (2012) dapat dijadikan sebagai menu sarapan pagi atau makan malam untuk mendapatkan ide-ide yang bernas. Dari perspektif keperilakuan, karya seminal Lewis (1982), atau Allingham dan Sandmo 10 tahun sebelumnya, dapat menjadi argumen dasar kita. Jurnal-jurnal top nan terkenal seperti The Accounting Review, Behavioral Research in Accounting atau Accounting,Organization and Society banyak sekali memuat artikel dengan pendekatan keperilakuan ini. So, mengapa tidak lanjutkan saja langkah anda. Dari aspek metoda riset, riset perpajakan dapat anda lakukan dengan berbagai pendekatan seperti eksperimen (nanti kita bahas lebih mendalam di lain kesempatan), survey, data arsip (archival research) bahkan studi kasus. Banyak pilihan bukan? tinggal sesuai dengan selera anda. Dari aspek teori, kedua perspektif keperilakuan dan keuangan telah mengakui pentingnya teori dari multidisiplin untuk melengkapi teori-teori dari ekonomika dan keuangan. Hanlon dan Heitzman pernah mengatakan, sifat multidisiplin dari penelitian pajak membuatnya menjadi menarik, juga sedikit lebih sulit.
So guys, mengapa tidak meneliti pajak saja untuk skripsi, tesis atau bahkan disertasi anda? Saya tidak hanya menyarankan, tapi telah (sedang) melakukannya untuk disertasi saya. Good Luck, semoga anda lulus sekolah sesuai harapan. Aamiin.


 



Salah satu isu kontroversial seputar tax amnesty adalah keefektifan program dalam jangka panjang. James Alm, Michael Mckee dan William Beck (1990) dalam studi mereka yang dimuat dalam National Tax Journal mengemukakan bahwa para pendukung program ini setuju bahwa one-time amnesty dapat meningkatkan kepatuhan pajak dalam jangka panjang jika program ini diikuti dengan pengeluaran pemerintah yang memadai untuk upaya enforcement dan pinalti yang lebih besar untuk pengemplang pasca-program. Lainnya berargumen bahwa program ini bermanfaat bagi pemerintah untuk mengatasi masalah perpajakan jangka pendek, memberikan kesempatan kepada para pengemplang pajak untuk kembali ke “jalan yang benar” yang diikuti pemfasilitasian monitoring kepatuhan jangka panjang mereka, menyediakan sebuah opsi “lunak” bagi penggelap pajak untuk keluar dari kesalahan dan rasa bersalah serta memberikan sinyal yang kuat kepada semua pembayar pajak- yang sebelumnya jujur maupun pengemplang- bahwa pemerintah aware dengan masalah penggelapan pajak. Argumen tambahan adalah bahwa program ini berjalan baik sebagai  pengantar menuju reformasi pajak baru. Di Indonesia sendiri, selain UU Amnesti Pajak, perubahan terhadap UU pajak lainnya juga sedang diusulkan.
            Di sisi lain, tidak sedikit yang memandang sinis keefektifan program ini sebagai alat fiskal pemerintah. Sebagian besar berpendapata bahwa program tax amnesty ini akan memberikan dampak negatif kepatuhan pajak sukarela dalam jangka panjang. Beberapa argumen mendukung pendapat ini. Pertama, Wajib Pajak jujur dapat mempersepsikan tax amnesty sebagai perlakuan khusus bagi para pengemplang pajak. Jika wajib pajak kelompok ini kemudian merasa marah (resent) dan tidak adil secara psikologis, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan mengubah sikap dan perilaku kepatuhan sukarela yang selama ini mereka pegang. Secara implisit, dalam pemenuhan kewajiban perpajakan secara sukarela, terdapat kontrak psikologis antara wajib pajak dan fiskus. Kedua, Wajib pajak dapat berasumsi bahwa program tax amnesty bukanlah program “one-shot” tetapi dapat berulang di kemudian hari. Jika mereka dapat mengantisipasi bahwa program ini kembali akan diluncurkan di masa depan, maka dapat diduga bahwa kepatuhan pajak mereka akan menurun. Ketiga, wajib pajak dapat mempersepsikan bahwa pemerintah meluncurkan program pengampunan pajak untuk menutupi kelemahan mereka dalam mengatasi penggelapan pajak. Mereka dapat menyimpulkan bahwa pengawasan pajak oleh pemerintah berjalan lemah, yaitu bahwa penggelapan pajak hanyalah “peccadillo” dan para penggelap pajak akhirnya hanya akan dipanggil melalui saluran panggilan norma sosial (social norm appeal). Beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa kritikan-kritikan yang diberikan adalah berdasarkan fondasi yang kuat. Alm, McKee dan Beck (1990) sebagai contoh, menemukan bahwa terjadi penurunan kepatuhan pajak setelah program amnesti diluncurkan. Lebih parah lagi, para wajib pajak patuh dan jujur sebelum program menunjukkan perilaku tidak patuh pasca-program.  Boomerang Effect dari pengampunan pajak ini harus dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah.

“Memaafkan itu hebat, tetapi apakah itu juga merupakan sebuah kebijakan yang bagus?” (Justin M.Ross)

Salah satu agenda program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2014-2019 yang diharapkan diselesaikan dalam tahun 2016 ini adalah pembahasan UU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty). Jika delapan tahun lalu pemerintah mendeklarasikan agenda pengampunan pajak dengan skala yang lebih kecil, yang populer dengan istilah sunset policy, tahun ini pemerintah mengusung agenda perpajakan yang lebih besar berupa pemberian pengampunan pajak yang lebih dikenal disebut dengan istilah Tax Amensty. Sebagai catatan, Program Sunset policy tahun 2008 berhasil meningkatkan jumlah wajib pajak sebesar 5,36 juta orang dan tambahan pendapatan sebesar 7, 46 triliun rupiah (582 juta dolar AS). Tampaknya, pemerintah ingin mengulang kisah sukses serupa dengan program yang lebih jumbo. Tax Amnesty bukanlah inisiatif baru dan asing. Ia telah ada semenjak 200 tahun sebelum masehi yang diawali di Mesir. Catatan resmi permulaan program ini ada di British Museum.
Berbeda dengan sunset policy yang hanya memberikan pengampunan terhadap sanksi adminsitrasi, Tax Amnesty menyediakan kesempatan (harusnya satu kali) kepada pengemplang pajak untuk membersihkan akun mereka dengan membayar kembali pajak terutang dengan pengurangan atau penghilangan pinalti dan tanpa menjadi subjek kriminal. Penunggak pajak dapat menikmati fasilitas ini dengan syarat bersedia mengungkapkan kesalahan dan pengabaian pajak yang dilakukan di masa lalu. Kegagalan pemenuhan target penerimaan pajak tahun lalu yang diwarnai dengan mundurnya Dirjen Pajak tampaknya semakin menguatkan niat pemerintah untuk menggolkan program ini. Apalagi, tahun lalu terdengar kabar bahwa keuangan negara sempat mengalamani shortfall. Pemerintah, seperti disampaikan Menteri Keuangan, menergetkan penerimaan sebesar US$ 294, 22 miliar dari Program ini.
Pemerintah mengimplementasikan program ini dengan harapan mendapatkan tambahan penghasilan dari tiga sumber potensial. Sumber pertama adalah tambahan pendapatan domestik yang berasal dari penghasilan yang dilaporkan dari sirkulasi bisnis ekonomi bawah tanah (underground economy). Dari penjelasan ini tersirat bahwa tujuan pengampunan pajak bukan hanya sekedar meningkatkan penerimaan negara akan tetapi juga untuk mengurangi secara permanen aktivitas ekonomi bawah tanah. Pengalaman di Turki seperti dipaparkan dalam tesis Huseyin Kara (2014) merupakan salah satu contoh keberhasilan amnesti pajak mengurangi shadow economy. Sumber kedua berasal dari masuknya modal melalui repatriasi sejumlah uang, yang lazimnya berjumlah besar, yang sebelumnya ditransfer secara ilegal ke luar negeri. Selain utang pajak yang diendapkan, larinya modal ke luar negeri menghilangkan potensi penerimaan pajak yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pada tahun 1977-1987 saja, di Meksiko terdapat 84 miliar dolar dana yang lari ke luar negeri, berikutnya secara berurutan 58 miliar untuk Venezuela, 46 miliar dolar untuk Argentina dan 31 miliar dolar dana keluar secara ilegal dari Brazil. Sumber penghasilan tambahan potensial ketiga adalah dari pembayaran kembali pajak-pajak yang tidak/kurang bayar sebelumnya. Program amnesti pajak mendorong pembayaran penuh dengan memberikan keringanan atau penghilangan pinalti.
Upaya pencarian sumber pendapatan baru melalui program pengampunan ini sudah jamak ditempuh di berbagai negara. Data menunjukkan bahwa program ini terbukti efektif di beberapa negara dan state di Amerika Serikat. Sebagai contoh, Negara Bagian NewYork memperoleh tambahan pendapatan sebesar 401 juta dolar AS pada program Tax Amesty Tahun 1981. Berikutnya berturur-turut California, Illinois dan Michigan yang memperoleh lebih dari 100 juta dolar dari prgram ini. Namun, kisah pengampunan pajak tidak melulu soal keberhasilan. Negara Bagian Dakota Utara, Idaho, Texas, Kansas dan Missouri hanya mampu menghasilkan tidak lebih dari 1 juta dolar. Dari perspektif cost-benefit, biaya kegagalan barangkali melebihi manfaat yang dihasilkan program ini. Dalam Perspektif yang lebih luas, temuan dari Hasseldine (1998) menunjukkan dari 43 program amnesti di 35 negara bagian antara tahun 1982-1997, penerima pendapatan tertinggi tidak melebihi 2,6% dari total penerimaan pajak sementara yang paling rendah hanya berhasil mengumpulkan sekitar 0,008%.
Di Level negara, Italia meluncurkan program pengampunan pajak tahun 2001 yang dinamai scudo fiscale. Selama 6 bulan program amnesty dijalankan, Italia berhasil menarik 56 miliar Euro dana yang disembunyikan para pengemplang pajak dan menghasilkan tambahan pendapatan sebesar 1,4 miliar Euro (setara dengan 0,4% dari total pendapatan pajak). Selepas keberhasilan ini, Italia merilis program baru yang disebut Super-scudo, yang memberikan kesempatan remisi lebih luas bagi perusahaan-perusahaan. Jerman di bawah komando konselir Gerhard Scroeder pun berhasil membawa pulang dana yang disembunyikan di luar negeri secara signifikan melalui program Tax Amnesty mereka di tahun 2002. Namun, seperti halnya cerita kegagalan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, kisah serupa juga terjadi di level negara seperti di Argentina (1987) dan Prancis (1982 dan 1996). Selain kegagalan membangun kepatuhan pajak dan pencapaian target penerimaan dalam negeri, ketidakberhasilan menarik pulang dana yang disembunyikan di negara-negara “ramah pajak” juga terjadi.
Mengacu kepada berbagai data dan fakta tersebut, pemerintah mau tidak mau harus aware dengan beragam faktor-faktor keberhasilan dan kegagalan program tersebut, termasuk perdebatan mengenai keefektifan tax amnesty sebagai fiscal tool pemerintah. Faktor-faktor tersebut tidak hanya mencakup faktor-faktor ekonomi namun juga faktor-faktor non ekonomi seperti rasa keadilan dan emosi.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda