Salah satu isu kontroversial
seputar tax amnesty adalah
keefektifan program dalam jangka panjang. James Alm, Michael Mckee dan William Beck
(1990) dalam studi mereka yang dimuat dalam National
Tax Journal mengemukakan bahwa para pendukung program ini setuju bahwa one-time amnesty dapat meningkatkan
kepatuhan pajak dalam jangka panjang jika program ini diikuti dengan
pengeluaran pemerintah yang memadai untuk upaya enforcement dan pinalti yang lebih besar untuk pengemplang
pasca-program. Lainnya berargumen bahwa program ini bermanfaat bagi pemerintah
untuk mengatasi masalah perpajakan jangka pendek, memberikan kesempatan kepada
para pengemplang pajak untuk kembali ke “jalan yang benar” yang diikuti pemfasilitasian
monitoring kepatuhan jangka panjang mereka, menyediakan sebuah opsi “lunak”
bagi penggelap pajak untuk keluar dari kesalahan dan rasa bersalah serta
memberikan sinyal yang kuat kepada semua pembayar pajak- yang sebelumnya jujur
maupun pengemplang- bahwa pemerintah aware
dengan masalah penggelapan pajak. Argumen tambahan adalah bahwa program ini
berjalan baik sebagai pengantar menuju
reformasi pajak baru. Di Indonesia sendiri, selain UU Amnesti Pajak, perubahan
terhadap UU pajak lainnya juga sedang diusulkan.
Di sisi lain, tidak sedikit yang memandang sinis
keefektifan program ini sebagai alat fiskal pemerintah. Sebagian besar
berpendapata bahwa program tax amnesty
ini akan memberikan dampak negatif kepatuhan pajak sukarela dalam jangka
panjang. Beberapa argumen mendukung pendapat ini. Pertama, Wajib Pajak jujur
dapat mempersepsikan tax amnesty
sebagai perlakuan khusus bagi para pengemplang pajak. Jika wajib pajak kelompok
ini kemudian merasa marah (resent)
dan tidak adil secara psikologis, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan mengubah
sikap dan perilaku kepatuhan sukarela yang selama ini mereka pegang. Secara
implisit, dalam pemenuhan kewajiban perpajakan secara sukarela, terdapat
kontrak psikologis antara wajib pajak dan fiskus. Kedua, Wajib pajak dapat
berasumsi bahwa program tax amnesty
bukanlah program “one-shot” tetapi
dapat berulang di kemudian hari. Jika mereka dapat mengantisipasi bahwa program
ini kembali akan diluncurkan di masa depan, maka dapat diduga bahwa kepatuhan
pajak mereka akan menurun. Ketiga, wajib pajak dapat mempersepsikan bahwa
pemerintah meluncurkan program pengampunan pajak untuk menutupi kelemahan
mereka dalam mengatasi penggelapan pajak. Mereka dapat menyimpulkan bahwa
pengawasan pajak oleh pemerintah berjalan lemah, yaitu bahwa penggelapan pajak
hanyalah “peccadillo” dan para
penggelap pajak akhirnya hanya akan dipanggil melalui saluran panggilan norma
sosial (social norm appeal). Beberapa
bukti empiris menunjukkan bahwa kritikan-kritikan yang diberikan adalah
berdasarkan fondasi yang kuat. Alm, McKee dan Beck (1990) sebagai contoh,
menemukan bahwa terjadi penurunan kepatuhan pajak setelah program amnesti
diluncurkan. Lebih parah lagi, para wajib pajak patuh dan jujur sebelum program
menunjukkan perilaku tidak patuh pasca-program. Boomerang
Effect dari pengampunan pajak ini harus dipertimbangkan secara matang oleh
pemerintah.
Labels: Perpajakan
0 Comments:
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)