Blogger Template by Blogcrowds

Pengantar Pajak Penghasilan

Definisi dan Dasar Hukum Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap wajib pajak atas penghasilan yang diterimanya atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Berdasarkan pengertian di atas, ada beberapa istilah yang harus dipahami dengan baik yaitu subjek pajak, objek pajak, wajib pajak dan tahun pajak. Subjek pajak dapat diartikan sebagai pihak yang dapat dikenai kewajiban untuk membayar pajak. Subjek pajak diantaranya adalah orang pribadi dan badan. Istilah kedua adalah Penghasilan. Penghasilan merupakan objek pajak penghasilan. Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran atau apa yang dikenai pajak. Dengan demikian sasaran dari pajak penghasilan adalah penghasilan. Wajib Pajak (WP) adalah subjek pajak (orang pribadi/Badan) yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Tahun pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu tahun takwim (kalender). Dengan demikian, pajak penghasilan yang terutang dan harus dibayar oleh Wajib Pajak dihitung dari seluruh penghasilan yang diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan diatur dengan berbagai regulasi dalam bentuk Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan (KMK), Peraturan Dirjen Pajak maupun Surat Edaran Dirjen Pajak. Regulasi dalam bentuk UU yang menjadi landasan hukum Pajak Penghasilan adalah:
  1. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
  2. UU No. 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Pertama terhadap UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  3. UU No. 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua atas UU No. Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  4. UU No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
  5. UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Karakteristik Umum Pajak Penghasilan di Indonesia
  1. Menurut golongannya, pajak penghasilan adalah pajak langsung.
  2. Menurut sifatnya, pajak penghasilan adalah pajak subjektif.
  3. Menurut lembaga pemungutnya, pajak penghasilan adalah pajak pusat.
  4. Menurut stelselnya, pajak penghasilan menganut stelsel campuran.
  5. Menurut asas pemungutannya, pajak penghasilan menggunakan asas sumber dan asas domisili.

Subjek Pajak, Bukan Subjek Pajak dan Kewajiban Pajak Subjektif

Subjek pajak adalah pihak-pihak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat dikenai kewajiban untuk membayar pajak. Subjek pajak penghasilan adalah pihak-pihak yang menurut ketentuan peraturan perundang-udangan pajak penghasilan dapat dikenai kewajiban untuk membayar pajak penghasilan. Menurut Undang-undang No 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan yang merupakan perubahan ketiga dari Undang-undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Subjek Pajak Penghasilan meliputi:

  1. Orang pribadi. Orang pribadi sebagai Subjek Pajak Penghasilan dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
  2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
  3. Badan. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan terbatas, Perseroan komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk usaha tetap, Bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek Pajak.
Namun demikian unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
  1. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  2. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD
  3. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah
  4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara

4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat tempat kedudukan manajemen, kantor cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, dll.

Abstract

Audit pemerintahan pada dasarnya tidak hanya masalah pendeteksian dan pencegahan korupsi, tetapi juga berkontribusi dalam meningkatkan fiscal governance, tetapi artikel ini hanya memfokuskan pada peran auditing dalam mencegah, mendeteksi dan menginvestigasi praktik korupsi. Akuntan dan auditor berada dalam posisi yang dapat berperan baik dalam rerangka anti-korupsi. Akuntansi forensik telah banyak dikenal tetapi belum banyak literatur yang memperkenalkan corruption auditing, dan artikel ini membantu menjelaskannya. Perlu ada pembedaan antara kecurangan (fraud) dengan korupsi, seperti perlunya pembedaan antara akuntansi forensik/audit investigasi dengan corruption auditing. Disamping dengan akuntansi forensik/audit investigasi dan corruption auditing, audit kinerja juga berperan dalam pencegahan (deterrence) dan mendeteksi praktik korupsi melalui indikasi lack of economy dan lack of efficiency.

Kata Kunci: Corruption Auditing, Performance audit, Pencegahan Korupsi

1.Pendahuluan
Dewasa ini, praktik korupsi semakin meresahkan masyarakat dan telah menjadi masalah serius di banyak negara di dunia. Beberapa penelitian menemukan bahwa korupsi tidak hanya membawa konsekuensi hukum tetapi telah memperburuk berbagai sektor kehidupan. Mauro (1996) menemukan bahwa praktik korupsi mengakibatkan menurunnya nilai investasi publik, menghambat pertumbuhan ekonomi dan mempengaruhi komposisi belanja pemerintah, khususnya untuk sektor pendidikan. Sementara menurut pandangan Eigen dalam Isra (2008), sampai batas-batas tertentu korupsi tidak saja mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, lembaga-lembaga demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan.
Predikat Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengawasan dan pertanggungjawaban di lembaga pemerintahan (Tempo, 18 Desember 2005). Predikat tersebut mengindikasikan kurang berfungsinya akuntan dan penegak hukum yang merupakan tenaga profesional teknis yang secara sistematis bekerjasama untuk mencegah dan mengungkap kasus korupsi di Indonesia (Arif, 2002) dalam Kartika dan Wijayanti (2007). Penyebab utama yang mungkin adalah karena kelemahan dalam audit pemerintahan di Indonesia.
Mardiasmo (2006) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam audit pemerintahan di Indonesia yaitu, pertama, tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar pengukur kinerja pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah dan hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena output yang dihasilkan yang berupa pelayanan publik tidak mudah diukur. Kedua, berkaitan dengan masalah struktur lembaga audit terhadap pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia yang overlapping satu dengan yang lainnya yang menyebabkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan pelaksanaan pengauditan. Sebagai perbandingan (atau malah pelengkap), Yang, Xiao dan Pandlebury (2008) menyatakan temuannya tentang masalah dalam auditing pemerintahan di China yaitu keterbatasan dalam independensi dan transparansi baik untuk pengauditan terhadap pemerintahan daerah (regional) maupun pemerintahan pusat. Keterbatasan ini mempengaruhi objektivitas dan reliabilitas pengauditan yang meupakan hal sangat penting ketika melakukan pengauditan terhadap implementasi, penggunaan dan pengendalian dana anggaran oleh pemerintah pusat dan regional.
Salah satu upaya penanganan kasus korupsi adalah dengan instrumen akuntansi/audit forensik atau sering disebut dengan investigative/fraud audit dan audit korupsi (corruption auditing). Akuntansi forensik atau audit investigasi menjadi semakin penting mengingat pernyataan yang pernah disampaikan Samutka (1980) benar. Dia mengatakan bahwa prosedur audit konvensional sudah tidak memadai untuk mendeteksi korupsi meskipun prosedur tersebut mampu memberikan sinyal adanya indikasi korupsi (red flags). Mulig dan Smith (2004) dalam Labuschagne dan Els (2006) menyatakan, akuntan dan auditor berada dalam posisi yang dapat berperan baik dalam mengembangkan dan membangun kebijakan-kebijakan internal, prosedur-prosedur dan pengendalian-pengendalian serta melakukan audit. Mereka juga mengatakan bahwa peran dan posisi akuntan dan auditor mengharuskan mereka bersikap proaktif dalam menginisiasi pengendalian organisasi untuk mengungkap kasus korupsi dan pencucian uang.
Efektifitas dan keunggulan audit forensik dibuktikan dengan beberapa kinerjanya yang begitu handal dalam penggungkapan kasus-kasus besar di dunia, seperti Enron, Adelphia, Computer Associates, Global Crossing dan lain sebagainya. Penerapannya pun telah banyak dilakukan di Indonesia seperti halnya dalam kasus Bapindo (Jakarta, kerugian Rp.1,3 triliun, 1 Februari 1994), Hongkong Bank (Jakarta, kerugian 79 miliar, 11 Januari 1996), Bank Bali (kerugian 900 miliar, 30 Juli 1999) dan banyak kasus-kasus lainnya yang telah berhasil diungkap. Di sektor publik/pemerintahan, pengungkapan kasus korupsi di pemerintah daerah kabupaten Badung, Bali tahun 2005 merupakan salah satu contoh keberhasilan penerapan audit investigatif.
Akuntansi forensik atau sebagian orang menyebutnya dengan Audit investigatif sudah cukup familiar bagi kita tetapi belum banyak studi yang mencoba menjelaskan tentang peran akuntansi dan auditing dalam upaya memberantas praktik korupsi. Hal ini tidak saja terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di berbagai negara lain. Masih sangat terbatas literatur-literatur tentang strategi anti-korupsi berdasarkan auditing (Di Tella dan Schargrodsky, 2001). Meskipun demikian, belakangan ini sudah ada beberapa studi yang mengkaji tentang peran akuntansi dan auditing dalam upaya pemberantasan praktik korupsi, antara lain Kimbro (2006), Khan (2006), Di Tella dan Schagrodsky (2001), Labuschagne dan Els (2006) dan Ferraz dan Finan (2007). Studi sebelumnya juga telah menujukkan bahwa auditing telah berhasil mengurangi angka korupsi secara rata-rata di Indonesia sebesar 8% dan berhasil mengurangi missing expenditure secara signifikan (Olken, 2007). Studi lain yang dilakukan oleh Giruox dan Shields (1993) menginvestigasi derajat karakteristik akuntansi dan auditing pada pemerintahan daerah (municipal government) yang mengarahkan kepada pengendalian internal yang efektif dan pengendalian perilaku birokrat. Di Indonesia, studi tentang audit investigatif yang dikaitkan dengan masalah korupsi telah dilakukan oleh Agustina dan Achsin (2008).
Kimbro (2006) menjelaskan hubungan antara variabel ekonomi, budaya dan pengawasan/informasi dengan praktik korupsi. Khan (2006) menjelaskan tentang peranan auditing dalam memerangi korupsi dan bermaksud mempopulerkan corruption auditing, sementara Tella dan Schargrodsky (2006) menguji pengaruh gaji pegawai negeri sipil dan auditing untuk menjelaskan praktik korupsi di Buenos Aires, Argentina. Labuschagne dan Els (2006) menyatakan bahwa meskipun auditor tidak berperan utama sebagai investigator tetapi dalam risetnya mereka menguji apakah auditor dibutuhkan untuk mempertimbangkan risiko korupsi dalam pemeriksaan yang mereka lakukan. Ferraz dan Finan (2007) meneliti tentang pengaruh publikasi laporan audit untuk mempelajari dampak informasi tentang praktik korupsi terhadap akuntabilitas pemilihan kepala daerah (electoral accountability).
MoUenhoff (1988), Kaufmann and Siegelbaum (1996), dan Rose-Ackerman (1998) dalam Kimbro (2006) berargumen pentingnya peningkatan probabilitas (penurunan insentif suap dan korupsi) dengan meningkatkan akuntabilitas, transparansi, tilikan yang independen, audit dan akses informasi. Menurut Kimbro sendiri, temuan-temuan dan argumen mereka sudah sangat baik dalam menjelaskan faktor-faktor penting dalam penanggulangan kecurangan dan korupsi, hanya saja penelitian-penelitian mereka tersebut belum memperhitungkan pentingnya peran akuntansi sebagai sebuah mekanisme pengontrolan praktik arbitrasi kekuasaan oleh pemerintah, sehingga dia melakukan kajian tentang peranan auditing dan laporan keuangan dalam menilik praktik korupsi.
Di Indonesia, literatur dan studi yang ada baru sebatas menjelaskan peranan akuntansi dan auditing sektor publik dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi publik (seperti Mardiasmo, 2001) tetapi belum banyak pengujian secara empiris dilakukan terhadap peran akuntansi forensik/audit investigatif maupun corruption auditing dalam pencegahan dan pengungkapan kasus korupsi. Satu diantara studi empiris yang belum banyak tersebut dilakukan oleh Agustina dan Achsin (2008) dengan sebuah studi kualitatif interpretif.
Hal ini sebenarnya menjadi sebuah topik yang menarik untuk dikaji apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini ilmu akuntansi dan auditing terus berkembang mengikuti perkembangan yang ada dalam dunia usaha dan pemerintahan. Sekarang kita mengenal adanya akuntansi forensik (forensic accounting), audit kecurangan (fraud auditing) dan yang terbaru dan belum banyak dikenal corruption auditing. Ilmu-ilmu ini diharapkan semakin berkembang dan berperan strategis ditengah gelombang korupsi yang semakin menjadi-jadi di Indonesia. Berdasarkan paparan di atas maka dapat kita tarik satu hal penting bahwa akuntansi dan auditing memainkan peranan yang penting dalam mencegah dan memerangi praktik korupsi. Artikel ini lebih jauh akan menjelaskan tentang perbedaan antara korupsi dangan kecurangan (fraud) karena Artikel ini membahas audit kecurangan dan corruption auditing sebagai dua hal yang berbeda, bentuk dan penyebab kecurangan, korupsi dan beberapa penyebabnya utamanya, corruption auditing dan peranan auditing dalam pendeteksian dan penginvestigasian korupsi, peran audit kinerja sebagai alat audit korupsi (corruption auditing) dan alat pencegahan praktik korupsi.

2. Kecurangan dan Korupsi
Banyak penulis menggunakan istilah “fraud/kecurangan” sebagai konsep generik untuk menyatakan tindakan-tindakan yang tidak jujur. Sebagai contoh Koornhoof dan Du Plessis (2000) menyatakan bahwa kecurangan manajemen (managemen fraud) dapat meliputi isu-isu seperti konflik kepentingan, penyuapan (bribery) dan korupsi (Kimbro, 2006). Korupsi dan kecurangan adalah dua hal yang berbeda. Menurut Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, kecurangan hanyalah bagian dari korupsi. Perbedaan ini menjadi penting untuk dipahami karena ketika menemukan kecurangan maka itu belum tentu menghapuskan praktik korupsi secara keseluruhan.

2.1 Kecurangan
Pengertian kecurangan ialah serangkaian irregularities dan illegal acts yang dilakukan untuk menipu atau memberikan gambaran kekeliruan terhadap pihak lain yang dilakukan pihak intern dan ekstern suatu organisasi dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri dan orang lain dengan merugikan orang lain (Anonim, 2000) dalam Ferdian dan Naim (2006). Kecurangan adalah tindak ketidakjujuran yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan cara-cara dan anjuran yang salah atau dengan melakukan pengingkaran terhadap kebenaran. Pengertian kecurangan sesuai Standar Profesional Akuntan Publik (PSA No.70 seksi 316.2 paragraf 4) adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan.
Secara garis besar yang banyak disoroti adalah accupational fraud (kecurangan terkait dengan jabatan) dan financial statement fraud (kecurangan laporan keuangan). Occupational fraud adalah penggunaan jabatan atau wewenang oleh seseorang untuk memperkaya diri sendiri melalui penyalahgunaan yang disengaja (misuse and misapplication) sumber daya dan kekayaan organisasi yang mempekerjakannya (ACFE Report to the Nation, 1996) dalam Hauck et al. (2006). The ACFE “fraud examiner manual” mendifinisikan kecurangan laporan keuangan sebagai salah saji yang disengaja dari kondisi keuangan suatu perusahaan/institusi yang dilakukan melalui salah saji yang disengaja atau kelalaian dalam perhitungan atau pengungkapan dalam laporan keuangan dengan tujuan membohongi pemakai laporan keuangan.
Kecurangan merupakan tindakan pidana yang menguntungkan diri sendiri atau organisasi atau keduanya (Albrecht, W. Steve dan Chad O. Albrecht, 2003) dalam Ferdian dan Naim (2006). Ada tiga motif seseorang melakukan kecurangan, yaitu (1) perceived pressure, (2) perceived opportunities, dan (3) rationalizations. Karni (2000) dalam Ferdian dan Naim (2006) menyebutkan bahwa kecurangan terjadi akibat tekanan kebutuhan dari seseorang, dan lingkungan yang memungkinkan untuk bertindak. GONE dalam Majalah Pemeriksa No.5 tahun 1993 merupakan singkatan dari G: Greed – keserakahan, ketamakan, kerakusan, O: Opportunity – kesempatan), N: Need – kebutuhan) dan E: Exposure – pengungkapan).

2.2 Korupsi dan Penyebabnya
Korupsi merupakan permasalahan yang komplek. Korupsi sudah ada sejak zaman dahulu sampai sekarang. Dengan adanya otonomi daerah, korupsi justru semakin tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Misalnya saja, pada tahun 2004 terungkapnya kasus korupsi terjadi hampir di seluruh pemerintahan daerah dengan nilai yang sangat material, membuktikan bahwa praktik korupsi telah semakin banyak terjadi. Khusus untuk korupsi di daerah, dalam laporan triwulanannya, Pusat Kajian Anti Tindakan Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa pada periode 2003-2007, korupsi di daerah menempati urutan teratas untuk perkara yang ditangani Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dengan angka total 73%. Sementara berdasarkan Trend Corruption Report semester I tahun 2008, sebanyak 38% dari 40 kasus korupsi di Indonesia terjadi di propinsi dan kabupaten/kota. Di Sumatera Barat, berdasarkan hasil laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang terjadi 103 kasus korupsi dengan kerugian negara diperkirakan sebesar 128 Milyar Rupiah. Upaya membasmi korupsi bukanlah pekerjaan yang mudah, ibarat “memutus siklus lingkaran setan” yang tidak akan ada habisnya.
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio berarti penyuapan, dan coruptore berarti merusak. United Nation Development Programme (UNDP) menyebutkan korupsi sebagai the misuse of public power, office or authority for prifat benefit-through bribery, excortion, influence feddling, fraud, speed money, or emblezzmen. Hampir sejalan dengan definisi UNDP, buku Controlling Corruption: A Parliamentarian’s Handbook memaknai korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan personal atau untuk keuntungan individual atau kelompok yang kepadanya seseorang berhutang kesetiaan/kepatuhan (Isra, 2008). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (pasal 2), korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan kegiatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian.
Menurut perspektif hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 pasal dalam UU Nomor 31 tahun 1999 dan UU Nomor 20 tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindakan pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan secara garis besar menjadi 7 (tujuh) kelompok yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
Hal penting lainnya yang perlu diketahui adalah penyebab terjadinya praktik korupsi tersebut. Ini menjadi penting karena dengan mengetahui penyebab-penyebabnya maka investigasi terhadap praktik atau tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan lebih baik, tepat dan efisien. Berbagai studi empiris telah menyatakan berbagai penyebab korupsi pada pemerintahan, seperti Mauro (1996) dan Tella dan Schargrodsky (2006). Mauro (1996) menyatakan bahwa salah satu penyebab utama korupsi adalah campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi dan secara umum dalam variabel-variabel yang termasuk dalam kebijakan pemerintah (government policy) seperti tarif impor dan gaji pegawai negeri sipil. Disamping penyebab yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, Mauro (1996) juga menyebutkan penyebab rent-seeking behavior yang berasal dari faktor lainnya yaitu natural-resources endowment dan sociological factors. Secara spesifik, Mauro (1996) menyebut istilah “rent-seeking behavior” sebagai biang keladi tindak korupsi di pemerintahan. Secara spesifik, Mauro menyebutkan beberapa penyebab korupsi yang telah diidentifikasi dalam berbagai literatur, yaitu:
1. Literatur rent-seeking menekankan restriksi dagang (trade restriction) sebagai salah satu sumber munculnya perilaku “rent-seeking” yang membawa kepada tindak korupsi melalui penyupan pihak pemerintah oleh pihak swasta.
2. Subsidi pemerintah dapat membentuk perilaku rent-seeking pada pemerintah. Hal ini dijelaskan oleh Clements, Hugounenq dan Schwartz (1995) dan Ades dan Di Tella (1995).
3. Pengendalian harga oleh pemerintah ternyata juga merupakan sumber munculnya perilaku rent-seeking.
4. Gaji pegawai negeri yang lebih rendah secara relatif terhadap sektor swasta juga merupakan salah satu penyebab korupsi. Dalam kondisi ini, Mauro menyebutnya sebagai low-level corruption.
Di Tella dan Schargodsky (2006) juga menemukan hubungan antara korupsi dan gaji pegawai disamping peranan auditing dalam mengurangi praktik korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam buku Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu (1) faktor politik, (2) faktor hukum, (3) faktor ekonomi, (4) faktor birokratik dan (5) faktor transnasional.
Faktor politik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab maraknya praktik korupsi karena banyaknya peristiwa politik yang dipengaruhi oleh faktor uang (money politics). Gomes (2004) dalam Isra (2008) menggambarkan politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Dalam penyelenggaraan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah (pilkada), praktik politik uang seringkali muncul karena undang-undang tidak memberikan aturan yang tegas tentang dana kampanye. Dalam persepektif akuntansi, dana kampanye/partai politik hanya wajib dibukukan. Faktor hukum juga dipandang sebagai penyebab korupsi. Munculnya faktor hukum, bisa jadi terkait dengan pertanyaan: mengapa begitu sulit memberantas korupsi? Untuk kasus Indonesia, misalnya, banyak kalangan berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi.
Faktor ekonomi dan birokratis juga telah dijelaskan oleh Mauro (1996) dan Di Tella dan Schargodsky (2006). Dalam kaitannya dengan birokrasi, kebijakan ekonomi pemerintah dikembangkan, diimplementasikan dan dimonitor dengan cara yang tidak partisipatif, transparan dan bertanggungjawab. Sementara itu, faktor transnasional amat terkait dengan perkembangan lintas negara dalam kasus-kasus korupsi.
Pendapat yang tidak jauh berbeda, Palmer (1985) dalam Isra (2008) dalam studi komparasi terhadap control of bureaucratic corruption di Hongkong, India dan Indonesia mengidentifikasi tiga faktor penting yang menjadi penyebab korupsi yaitu opportunities (which depended on the extend of involvement of civil servant in the administration), salaries and pricing (the probably of detection and punishment). Sementara itu mnurut Klitgaard (1988) dalam Isra (2008), korupsi (C) terjadi karena monopoli (M) ditambah dengan adanya diskresi dari pemerintah/pihak berwenang (D). Monopoli dan diskresi dilakukan tanpa akuntabilitas (A). Pandangan Klitgaard ini diormulasikan menjadi C = (M+D) – A.

Perkembangan standar akuntansi internasional yang seragam merupakan fenomena baru dan perkembangan standar yang seragam ini pun masih dalam tahap infancy. Sebagai contoh, Uni Eropa tidak mewajibkan penggunaan IFRS untuk perusahaan publik meraka sampai dengan tahun 2005. Hasilnya, masih relatif sedikit data yang mengungkapkan konsekuensi ekonomi dari kewajiban adopsi/penggunaan IFRS.
Ball (2006) menyediakan sebuah overview dari isu-isu seputar adopsi IFRS dan mengidentifikasi beberapa isu kunci yang mungkin membatasi keberhasilan dan efektifitas kewajiban IFRS. Meskipun begitu, beberapa dari konsep yang diajukan belum teruji karena kewajiban (mandat) adopsi IFRS masih sangat baru. Saat ini, hanya beberapa studi yang menganalisis konsekuensi ekonomi dari pengenalan pelaporan IFRS yang dimandatkan. Kebanyakan studi tersbut menguji keputusan sukarela (voluntary) perusahaan untuk menyediakan laporan keuangan yang sesuai (conform) dengan standar akuntansi internasioanl “yang berkualitas tinggi” (“high quality” international accounting standards). Soderstom dan Sun (2007) juga menyediakan hasil survey yang menguji link antara adopsi IFRS dengan kualitas angka-angka akuntansi perusahaan (firm’s accounting numbers).
Pengujian empiris konsekuensi ekonomi adopsi IFRS secara sukarela umumnya menganalisa dampak langsung terhadap pasar modal (seperti likuiditas dan biaya modal ekuitas) atau dampak terhadap berbagai partisipan pasar modal (seperti dampak terhadap properti peramalan analis atau kepemilikan oleh investor institusional). Contoh studi yang menguji dampak terhadap pasar modal dari pengadopsian IFRS secara sukarela antara lain Leuz dan Verrecchia (2000), Barth et al (2007), Karamanou dan Nishiotis (2005), Cuijpers dan Buijink (2005), Daske (2005), Hung dan Subramanyam (2007), dan Daske, Hail, Leuz, dan Verdi (2007a).
Leuz dan Verrecchia (2000) menguji perusahaan-perusahaan Jerman yang mengadopsi IAS atas US GAAP ddengan membandingkannya dengan stadar akuntansi domestik Jerman (HGB), dan menemukan bahwa perusahaan yang menggunakan IAS ayau US GAAP menunjukkan bid-ask spread yang lebih rendah, turnover yang lebih tinggi, penurunan dalam spread dan turnover dibandingkan dengan perusahaan yang menggunakan standar akuntansi domestik (German GAAP).
Cuijpers dan Buijink (2005) menggunakan estimasi biaya modal implikasian (implied cost of capital estimates) dan tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara perusahaan yang menggunakan standar lokal dengan IFRS di negara-negara Uni Eropa. Daske (2006) menguji adopsi IFRS secara sukarela oleh perusahaan-perusahaan Jerman dan menemukan bahwa perusahaan-perusahaan IFRS menunjukkan biaya modal ekuitas lebih tinggi daripada perusahaan-perusahaan dengan standar akuntansi Jerman. Daske, Hail, Leuz, and Verdi (2007a) menunjukkan bahwa perusahaan dengan komitmen “serius” untuk mengadopsi IFRS mempunyai biaya modal lebih tinggi manfaat biaya modal dan likuiditas pasar dibandingkan dengan perusahaan yang secara sederhana mengadopsi IFRS hanya sebagai “label”.
Karamanou and Nishiotis (2005) menguji return short-window announcement terhadap adopsi IFRS. Namun, tantangan terhadap studi ini adalah bahwa tipe studi ini dengan menggunakan reaksi terhadap short-window market juga menanngap efek berita yang secara potensial berhubungan dengan adopsi IFRS (seperti informasi tentang kesempatan pertumbuhan). Dengan demikian, tipe desain studi ini mungkin kurang layak untuk mengisolasi dampak dari adopsi IFRS.
Dengan memfokuskan pada kualitas pelaporan, Barth, Landsman and Lang (2007) menganalisis perubahan properti laba yang dilaporkan seputar adopsi pelaporan IFRS dan menujukkan bukti bahwa kualitas pelaporan keuangan meningkat. Hung and Subramanyam (2007) Hung and Subramanyam (2007) menguji sampel dari perusahaan Jerman dan menguji dampak pelaporan keuangan terhadap adopsi IAS antara tahun 1998 dan 2002. Mereka menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam relevansi nilai (value relevance) dari angka-angka akuntansi dengan adopsi IFRS, tetapi ada bukti yang lemah bahwa laba berdasarkan IAS menunjukkan konservatisme kondisonal yang lebih besar daripada laba yang dihasilkan dari pelaporan berdasarkan standar akuntansi Jerman.
Ada juga beberapa studi tentang reaksi partisipan pasar modal terhadap adopsi sukarela IFRS. Cuijpers and Buijink (2005) menemukan peningkatan analisi seputar IFRS, tetapi dampaknya tidaklah robust untuk mengontrol self selection. Covrig at al (2007) mendokumentasikan bahwa kepemilikan reksa dana (mutual fund) oleh pihak asing secara signifikan lebih tinggi untuk para adaptor IFRS dibadingkan dengan perusahaan dengan basis GAAP lokal dan bahwa perbedaan dalam kepemilikan reksa dana meningkat untuk perusahaan dengan lingkungan informasi yang jelak (poor information environments) dan dengan fisibilitas yang rendah, menyarankan bahwa pelaporan IFRS dapat membantu perusahaan menarik investor institusional asing. Sebagai tambahan, bukti sekitar adopsi IFRS secara sukalera memang masih tidak konsisten (mixed).
Sebagaimana disampaikan di atas mengenai diskusi seputar literatur pengungkapan sukarela, tantangan utama untuk studi semacam itu adalah fakta bahwa perusahaan memilih bagaimana dan kapan mengadopsi IFRS. Sehingga, masih sulit untuk mengatribusikan dampak observasian terhadap adopsi IFRS.
Lebih lanjut, studi tentang keputusan pelaporan keuangan berbasis IFRS secara sukarela hanya dapat memberikan sedikit bukti kepada kita tentang dampak agregat dari mandated IFRS.
Sekarang kita lihat beberapa studi dengan pendakatan sedikit berbeda yang menguji konsekuensi ekonomi dalam masa transisi kewajiban pelaporan berbasis IFRS. Studi yang ada dalam masa transisi ini secara umum menguji:
(i) Reaksi pasar modal terhadap major events sebelum adopsi IFRS yang mempengaruhi kemungkinan bahwa sebuah yurisdiksi (seperti Uni Eropa) akan mengadopsi mandatory IFRS.
(ii) Atau outcomes pasar modal observasian setelah pengenalan mandatory IFRS dalam sebuah yurisdiksi.
Studi pada kategori pertama menggunakan reaksi pasar modal untuk menyimpulkan apakah pemegang saham mempersepsikan net benefit atau net cost dari adopsi IFRS. Beberapa penelitian dengan pendekatan kategori pertama ini membandingkan insentif dan enforcement antara negara dengan insentif dan enforcement yang kuat dengan yang lebih lemah. Beberapa peneliti dengan kategori ini antara lain Comprix at al (2003) dan Amstrong at al (2007). Beberapa temuan penelitian mereka adalah bahwa reaksi pasar modal lebih positif pada perusahaan dengan kualitas lingkungan pelaporan yang lebih rendah sebelum IFRS (pre-IFRS), dengan asimetri informasi yang lebih tinggi sebelum adopsi IFRS, dan untuk perusahaan dari negara-negara common law.
Studi pada kategori kedua menganalisi dampak pasar modal setelah kewajiban adopsi IFRS. Sebagai contoh, Platikanova (2007) menguji ukuran likuiditas pasar pada perusahaan-perusahaan di empat negara Eropa. Selain menemukan perubahan heterogen dalam ukuran likuiditas di empat negara setelah adopsi IFRS, Platikanova (2007) juga menemukan bahwa secara penurunan secara keseluruhan dalam perbedaan likuiditas antar negara setelah adopsi IFRS. Daske, Hail, Leuz and Verdi (2007b) juga menguji dampak adopsi IFRS di 26 negara terhadap likuiditas pasar, biaya modal ekuitas dan Tobin’s Q. Mereka menemukan bahwa, secara rata-rata, likuiditas pasar dan penilaian ekuitas meningkat di sekitar pengenalan adopsi mandatory IFRS di negara-negara yang mereka uji. Namun, keunggulan dan manfaat pasar ini hanya ada di negara-negara dengan rezim strict enforcement dan lingkungan institusioal yang menyediakan insentif pelaporan yang kuat. Menariknya, mereka menemukan bahwa dampak pasar modal setelah adopsi wajib IFRS adalah lebih pronounced untuk perusahaan-perusahaan yang pada awalnya secara sukarela (voluntarily) beralih ke IFRS sebelum menjadi diwajibkan.
Semakin banyak data yang tersedia, tidaklah diragukan lagi bahwa akan banyak temuan-temuan empiris tentang outcomes dari adopsi mandatory IFRS di banyak negara-negara di dunia. 

Stephen A. Zeff, seorang tokoh akuntansi yang paling persuasif berkaitan dengan konsekuensi ekonomi, mengenalkan konsep ini dalam artikelnya tahun 1978 yang berjudul “The Rise of Economic Consequences”. Zeff (1978) mendefinisikan economic consequences sebagai dampak laporan akuntansi terhadap perilaku pengambilan keputusan bisnis, pemerintah, dan kreditor. Esensi definisi tersebut adalah bahwa laporan akuntansi dapat mempengaruhi (affect) keputusan nyata oleh manajer dan pihak lain, tidak hanya sekedar menggambarkan (reflecting) hasil keputusan yang dibuat. Zeff mendokumentasikan beberapa contoh di Amerika Serikat dimana bisnis, asosiasi industri, dan pemerintah mencoba mempengaruhi, atau telah mempengaruhi, standar akuntansi yang disusun oleh Accounting Principles Board (APB) dan pendahulunya the Committee on Accounting Procedure (CAP).

Economic consequences adalah konsep yang menyatakan bahwa, walaupun bertentangan dengan implikasi teori pasar modal efisien, pilihan kebijakan akuntansi dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Walaupun dengan implikasi kebijakan teori pasar modal efisien, tampak bahwa pilihan kebijakan akuntansi memiliki konsekuensi ekonomi bagi pamakai laporan keuangan, walaupun tidak secara langsung mempengaruhi aliran kas perusahaan.

Esensi dari economic consequences adalah bahwa kebijakan akuntansi dan perubahan kebijakan akuntansi tersebut merupakan suatu permasalahan (matter), terutama permasalahan bagi manajemen. Akan tetapi, apabila hal tersebut merupakan permasalahan bagi manajemen, kebijakan akuntansi juga permasalahan bagi investor yang memiliki perusahaan karena manajer dapat mengubah hasil operasi operasi perusahaan sesungguhnya dengan melakukan perubahan kebijakan akuntansi.

Economic consequences muncul karena perusahaan melakukan kontrak seperti kompensasi eksekutif (executive compensation) dan kontrak utang (debt contract). Kebijakan akuntansi yang digunakan dapat merupakan sumber informasi yang penting bagi investor. Manajer dapat menggunakan sumber informasi berupa pilihan kebijakan akuntansi yang dipilih sebagai signal tentang informasi dalam dari perusahaan.

Teori pasar modal efisien gagal menjelaskan perilaku pasar. Berdasarkan teori pasar modal efisien, suatu perubahan akuntansi direaksi oleh pasar hanya apabila perubahan akuntansi tersebut berpengaruh terhadap arus kas perusahaan. Economic consequences diperlukan untuk mengetahui respon pasar atas perubahan kebijakan akuntansi walaupun perubahan kebijakan akuntansi tersebut tidak berpengaruh secara langsung terhadap arus kas. Karena itu, economic consequences merupakan salah satu anomali pasar modal efisien. Teori akuntansi positif (Positive Accounting Theory/PAT) adalah penjelasan terhadap adanya economic consequences.

1.1 Definisi Pendapatan

Dalam PP No 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, pendapatan didefinisikan sebagai berikut :
“Pendapatan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali.” Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh kepala daerah untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006, mendefinisikan pendapatan sebagai hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Dari kedua definisi tersebut jelas terlihat bahwa pendapatan merupakan hak pemerintah yang menambah nilai ekuitas dana pemerintah. 1.2. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah dikelompokkan sebagai berikut: - Pendapatan Asli Daerah (PAD) - Dana Perimbangan (Pendapatan Transfer) - Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wlayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah. Terdapat dua unsur penting dalam pengertian/konsep PAD yaitu potensi asli daerah dan pengelolaannya sepenuhnya oleh daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 24 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pasal 3 huruf (a), sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah tersebut adalah: 1.Pajak Daerah 2.Retribusi Daerah 3.Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan 4.Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah

Pendapatan Transfer

Pendapatan transfer merupakan pendapatan yang berasal dari entitas pelaporan lain, seperti pemerintah pusat atau daerah otonom lain dalam rangka perimbangan keuangan. Transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi ini disebut juga dana perimbangan. Pendapatan tranfer ini terdiri dari:

  1. Pendapatan Dana Bagi Hasil (DBH), yaitu dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan ke daerah berdasarkan persentase tertentu untuk kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil ini terdiri dari DBH Pajak (PBB, BPHTB, dan PPh Perorangan) dan DBH Sumber Daya Alam (kehutanan, Pertambangan umum, perikanan, Pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, pertambangan panas bumi).
  2. Dana Alokasi Umum (DAU), merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemeraan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
  3. Dana Alokasi Khusus (DAK), merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.


Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup:
  1. Hibah yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan dan membaga luar negeri yang tidak mengikat.
  2. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam
  3. Dana bagi hasil pajak dari propinsi kepada kabupaten/kota.
  4. Dana penyesuain dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.
  5. Bantuan keuangan dari propinsi atau pemerintah daerah lainnya.


Dari kelompok pendapatan di atas, hanya Pendapatan Asli Daerah yang ada di SKPD, sedangkan dua kelompok pendapatan lainnya hanya ada di PPKD.


1.3 Ketentuan Penerimaan Pendapatan

Beberapa ketentuan pendapatan daerah adalah:
  1. semua pendapatan daerah dilaksanakan melalui rekening kas umum daerah
  2. semua pendapatan harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah
  3. SKPD dilarang memungut pendapatan selain sesuai dengan kewenangannya yang diatur berdasarkan Perda.
  4. Komisi, rabat, potongan atau pendapatan lainnya dengan nama apapun dan dalam bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang merupakan pendapatan daerah.
  5. Pengembalian atas kelebihan pendapatan harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan dalam Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
  6. SKPD dilarang menggunakan langsung pendapatan untuk membiayai pengeluaran/belanja, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.


1.4 Pengakuan dan Pengukuran Pendapatan

Sebagaimana dijelaskan dalam rerangka konseptual akuntansi pemerintah paragraf 78, pengakuan dalam akuntansi adalah proses penetapan terpenuhinya kriteria pencatatan suatu kejadian atau peristiwa dalam catatan akuntansi sehingga menjadi bagian yang melengkapi unsur aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, belanja dan pembiayaan, sebagaimana akan termuat dalam laporan keuangan entitas pelaporan yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam paragraf 88 dijelaskan bahwa pengakuan pendapatan menurut basis kas diakui pada saat diterima di rekening kas umum negara/daerah atau oleh entitas pelaporan, sedangkan pendapatan menurut basis akrual diakui pada saat timbulnya hal atas pendapatan tersebut. Meskipun sampai saat ini pendapatan diakui dengan basis kas, namum SAP juga telah mencantumkan pengakuan pendapatan dengan basis akrual. Pendapatan diakui dengan asas bruto. Segala biaya yang langsung mengurangi jumlah yang diterima tidak menjadi pengurang dalam melakukan pencatatan biaya tersebut akan dicatat sebagai belanja di tahun anggaran yang sama

1.5 Akuntansi Pendapatan SKPD
Entitas akuntansi, dalam hal ini SKPD, melakukan akuntansi pendapatan sebagai berikut:
  1. Transaksi pendapatan di SKPD dicatat oleh Petugas Penatausahaan Keuangan SKPD (PPK-SKPD). Transaksi ini dicatat harian pada saat kas diterima oleh bendahara penerimaan atau pada saat menerima bukti transfer dari pihak ketiga.
  2. Koreksi atas pengembalian pendapatan (yang tidak berulang), yang terjadi atas pendapatan tahun berjalan, dicatat sebagai pengurang pendapatan. Sedangkan koreksi atas pengembalian pendapatan periode sebelumnya, dicatat sebagai belanja tidak terduga (PP No. 24 Tahun 2005, dicatat sebagai pengurang ekuitas dana lancar, dalam hal ini rekening SiLPA).
  3. Pengembalian yang sifatnya normal dan berulang atas penerimaan pendapatan periode berjalan atau sebelumnya, dicatat sebagai pengurang pendapatan. Akuntansi pendapatan dilaksanakan berdasarkan azas bruto.


Dokumen Sumber yang Digunakan

Dokumen sumber yang digunakan sebagai dasar pencatatan transaksi pendapatan di SKPD ini antara lain Surat Tanda Setoran (STS), Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD), Surat tanda bukti pembayaran dan surat tanda bukti penerimaan lainnya.
Dalam kondisi tertentu, dimungkinkan terjadi pengembalian kelebihan pendapatan yang harus dikembalikan ke pihak ketiga. Jika pengembalian kelebihan pendapatan sifatnya berulang (recurring) baik yang terjadi di periode berjalan atau periode sebelumnya, dan juga berlaku bagi pengembalian yang sifatnya tidak berulang tetapi terjadi dalam periode berjalan. PPK-SKPD berdasarkan informasi transfer kas dari BUD mencatat transaksi pengembalian kelebihan tersebut dengan jurnal sebagai berikut:
Pendapatan......................xxx

R/K PPKD......................xxx


Pada saat pengembalian kelebihan pendapatan tersebut dilakukan melalui Rekening Kas Daerah, Akuntansi PPKD akan mencatat transaksi pengembalian kelebihan pendapatan tersebut dengan jurnal sebagai berikut :

R/K SKPD.....................xxx

Kas di Kasda.......................xxx

Jika pengembalian kelebihan pendapatan tersebut bersifat tidak berulang (non recurring) dan terkait dengan pendapatan periode sebelumnya, Satuan Kerja tidak melakukan pencatatan. Pencatatan dilakukan oleh Akuntansi PPKD dengan jurnal sebagai berikut:


SiLPA..........................xxx

Kas di Kasda...................xxx



13 Juli 2010, empat setengah bulan yang lalu, hadirlah di tengah keluarga besar kami seorang permata hati bernama Muhammad Zaki Al Ghifari, putra pertama kami. Nama yang kami ambilkan dari Muhammad-Rasullullah teladan kita semua, Zaki (mengacu kepada Prof. Dr. Zaki Baridwan M.Sc, dosen idola kedua orang tuanya) dan Abu Dzar Al Ghifari, seorang sahabat utama Rasullulah. Kami hanya mendoakan buah hati kami ini mencontoh dan meneladani para tokoh diatas dengan tetap berharap cukuplah dia menjadi dirinya sendiri.

Semalam sebelum kehadirannya, ayahnya masih berada jauh di lokasi KKN Mahasiswa sebagai Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) di Nagari Lakitan, Kabupaten Pesisir Selatan sana, lebih kurang 150 KM dari rumah. Ketika mamanya sudah di Rumah Sakit, ayahnya pun masih dalam perjalanan pulang. Lakitan-Padang terasa begitu jauh. Ingin rasanya menembus ruang dan segera berada di sisi mamanya menemani dan menyambut bersama kehadiran anak pertama. Syukurlah, mamanya seorang yang kuat-hati dan fisiknya. Jam 11.30 WIB barulah ayahnya sampai di Rumah Sakit menemani mamanya menunggu waktu operasi caesar yang terpaksa harus dilakukan. Haru rasanya ketika mamanya tiba-tiba meneteskan air mata pas kedatangan di rumah sakit. Pengalaman pertama (akan) mempunyai anak dan ternyata harus dioperasi. Tapi, di atas semua itu kami sadar sepenuhnya, ini adalah kehendak Ilahi.

Jam 15.45 WIB, bersamaan dengan azan asyar, lahirlah bayi mungil kami. Dengan berat hanya 2,6 Kg dan Panjang 45 Cm memang dia tergolong kecil. Haru dan syukur atas operasi yang sukses menghapus segala kegalauan dari tadi pagi, sejal berangkat dari lokasi KKN.

Sekarang, permata hati kami telah 4 bulan 18 hari. Beratnya sudah hampir 7 Kg dan panjangnya pun mendekati 65 cm. Senyumnya telah menjadi penyemangat kami setiap hari, sebuah suplemen mahal yang tidak dijual orang di apotek manapun. Seperti tawanya yang renyah, tangisnya pun tak kalah kencang, heheheh, tapi that is the baby, doesn’t he?. Jam tidur malam yang berkurang dan jam kerja di rumah yang terganggu hanyalah sebuah harga yang sedikit atas kebahagiaan yang diberikan dengan kehadirannya. Cepatlah besar matahariku!


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda