Blogger Template by Blogcrowds


Ramanna dan Sletten (200x) melakukan pengujian kenapa suatu negara telah mengadopsi IFRS sementara yang lainnya belum, dan dengan menjadikan pengaruh budaya terhadap keputusan mengadopsi IFRS sebagai variabel utama dari penelitian tersebut. Mereka beragumen bahwa, “jika IFRS dianggap datang dari Eropa, maka negara yang secara budaya semakin jauh dari Eropa cenderung untuk kurang menerima IFRS”. Mereka menggunakan kedekatan budaya dengan Eropa berdasarkan proksi proporsi penduduk suatu negara yang beragaman kristen. Mereka berargumen bahwa “semakin kristen” suatu negara semakin dekat mereka dengan budaya Eropa karena pengaruh kristen yang dibawa Eropa dalam kolonialisme di masa lalu yang cukup luas. Namun, mereka gagal secara empiris untuk mendukung hipotesis yang mereka ajukan terkait adopsi IFRS berdasarkan kedekatan budaya dengan Eropa tersebut. Meskipun gagal menemukan bukti secara empiris pengaruh budaya terhadap keputusan adopsi IFRS, mereka menemukan bukti empiris bahwa semakin kuat suatu negara semakin kecil kemauan mereka untuk mengadopsi IFRS. Mereka meproksikan kekuatan suatu negara dengan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan (termasuk ukuran dan popularitas mereka di PBB).
Clement, Neill dan Stoval (20xx) menguji pengaruh dimensi budaya, termasuk ukuran suatu negara terhadap keputusan untuk mengadopsi IFRS. Tujuan penelitian mereka adalah menguji apakah budaya dan perbedaan ukuran suatu negara secara empiris berpengaruh terhadap keputusan suatu negara untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi IFRS. Sebelumnya mereka juga telah melakukan pengujian terhadap pengaruh budaya dan kondisi sosioekonomi terhadap keputusan untuk mengadopsi IFAC’s model code of ethics (Clement et al, 200xa dan Clement et al 200xb). Penelitian ini disamping pengembangan dari penelitian mereka sebelumnya, juga merupakan pengembangan dari penelitian Ramanna dan Sletten (200x) dengan tetap menguji pengaruh budaya, tetapi dengan menggunakan pendekatan yang lain, yaitu menggunakan empat dimensi budaya yang dari Geert Hofstede (198x) yang populer itu dan pengaruh ukuran suatu negara terhadap keputusan mengadopsi atau tidak mengadopsi IFRS.
Keempat dimensi budaya yang diperkenalkan Hofstede tersebut adalah Power Distance (PDI), Individualism (IDV), Masculinity (MAS) dan Uncertainty Avoidance (UAI). Mengacu kepada Hofstede dan Hofstede (200x), Power Distance didefinisikan sebagai “tingkatan/seberapa luas anggota suatu institusi atau organisasi dalam suatu negara yang kurang powerful berharap dan menerima bahwa keputusan tersebut didistribusikan secara tidak adil”. Di negara dengan rentang kekuasaan yang tinggi akan kelihatan mana “subordinat” dan mana pihak yang “superior”. Mengacu kepada Williams dan Zinkin (200x), negara dengan rentang kekuasaan yang tinggi diharapkan menerima perintah dari pihak yang mempunyai otoritas. Dalam konteks adopsi IFRS, IASB dianggap sebagai badan yang mempunyai otoritas. Hipotesis yang dibangun berdasarkan dimensi ini adalah semakin tinggi power distance yang terjadi, semakin besar kecenderungan suatu negara untuk mengadopsi IFRS.
Dimensi budaya Hofstede yang kedua adalah Individualisme, sebagai lawan dari kolektivitas (Collectivism). Berdasarkan sifatnya, negara dengan sikap kolektivitas tinggi (seperti Jepang, dan mungkin Indonesia) fokus terhadap dampak dari suatu keputusan atau aksi yang diambil terhadap organisasi atau masyarakat secara luas, sementara negara dengan individualisme tinggi (seperti Amerika Serikat dan Kanada) fokus kepada dampak dari suatu keputusan atau aksi terhadap diri mereka sendiri atau keluarga terdekat mereka. Hipotesis yang dikembangkan adalah bahwa semakin individualis suatu negara, semakin kecil kecenderuangan mereka untuk mengadopsi IFRS.
Dimensi budaya berikutnya adalah maskulinitas, sebagai lawan dari feminimisme. Dalam masyarakat yang maskulin, mereka lebih mengharapkan independensi dan otonomi yang lebih tinggi. Berkaitan dengan adopsi IFRS, hipotesis yang dibangun adalah, semakin maskulin suatu masyarakat, semakin kecil kecenderungan mereka untuk mengadopsi IFRS.
Dimensi budaya yang keempat adalah Uncertainty Avoidance. Masyarakat dengan uncertainty avoidance yang tinggi lebih menyukai situasi yang stabil dan familiar terhadap suatu hal baru dan situasi yang kemungkinan belum diketahui. Dengan demikian, jika seseorang kelihantannya suka menghindari ambiguitas dan ketidakpastian, mereka lebih cenderung untuk mempertahankan status quo. Berkaitan dengan adopsi IFRS, hipotesis yang dibangun adalah, semakin tinggi uncertainty avoidance di suatu masyarakat, semakin kecil kecenderungan mereka untuk mengadopsi IFRS.
Temuan dari penelitian Clement, Neill dan Stoval (20xx) ini adalah tidak ada satupun dimensi budaya yang bisa mereka dokumentasikan untuk melihat hubungannya dengan adopsi IFRS, sementara ukuran suatu negara menunjukkan hubungan dengan keputusan mengadopsi IFRS. Semakin besar suatu negara, semkin kecil kecenderungan untuk mengadopsi IFRS. Hal ini sejalan dengan notion bahwa semakin besar suatu negara, semakin well-established juga standar akuntansi dan pelaporan yang mereka miliki. Hal ini mengakibatkan mereka reluctant mengeluarkan biaya untuk mengadopsi dan merubah ke standar akuntansi dan pelaporan yang baru.

1 Comment:

  1. Xclmedia said...
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda