Blogger Template by Blogcrowds

Abstract

Audit pemerintahan pada dasarnya tidak hanya masalah pendeteksian dan pencegahan korupsi, tetapi juga berkontribusi dalam meningkatkan fiscal governance, tetapi artikel ini hanya memfokuskan pada peran auditing dalam mencegah, mendeteksi dan menginvestigasi praktik korupsi. Akuntan dan auditor berada dalam posisi yang dapat berperan baik dalam rerangka anti-korupsi. Akuntansi forensik telah banyak dikenal tetapi belum banyak literatur yang memperkenalkan corruption auditing, dan artikel ini membantu menjelaskannya. Perlu ada pembedaan antara kecurangan (fraud) dengan korupsi, seperti perlunya pembedaan antara akuntansi forensik/audit investigasi dengan corruption auditing. Disamping dengan akuntansi forensik/audit investigasi dan corruption auditing, audit kinerja juga berperan dalam pencegahan (deterrence) dan mendeteksi praktik korupsi melalui indikasi lack of economy dan lack of efficiency.

Kata Kunci: Corruption Auditing, Performance audit, Pencegahan Korupsi

1.Pendahuluan
Dewasa ini, praktik korupsi semakin meresahkan masyarakat dan telah menjadi masalah serius di banyak negara di dunia. Beberapa penelitian menemukan bahwa korupsi tidak hanya membawa konsekuensi hukum tetapi telah memperburuk berbagai sektor kehidupan. Mauro (1996) menemukan bahwa praktik korupsi mengakibatkan menurunnya nilai investasi publik, menghambat pertumbuhan ekonomi dan mempengaruhi komposisi belanja pemerintah, khususnya untuk sektor pendidikan. Sementara menurut pandangan Eigen dalam Isra (2008), sampai batas-batas tertentu korupsi tidak saja mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, lembaga-lembaga demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan dan memperparah kemiskinan.
Predikat Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengawasan dan pertanggungjawaban di lembaga pemerintahan (Tempo, 18 Desember 2005). Predikat tersebut mengindikasikan kurang berfungsinya akuntan dan penegak hukum yang merupakan tenaga profesional teknis yang secara sistematis bekerjasama untuk mencegah dan mengungkap kasus korupsi di Indonesia (Arif, 2002) dalam Kartika dan Wijayanti (2007). Penyebab utama yang mungkin adalah karena kelemahan dalam audit pemerintahan di Indonesia.
Mardiasmo (2006) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam audit pemerintahan di Indonesia yaitu, pertama, tidak tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar pengukur kinerja pemerintahan baik pemerintah pusat maupun daerah dan hal tersebut umum dialami oleh organisasi publik karena output yang dihasilkan yang berupa pelayanan publik tidak mudah diukur. Kedua, berkaitan dengan masalah struktur lembaga audit terhadap pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia yang overlapping satu dengan yang lainnya yang menyebabkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan pelaksanaan pengauditan. Sebagai perbandingan (atau malah pelengkap), Yang, Xiao dan Pandlebury (2008) menyatakan temuannya tentang masalah dalam auditing pemerintahan di China yaitu keterbatasan dalam independensi dan transparansi baik untuk pengauditan terhadap pemerintahan daerah (regional) maupun pemerintahan pusat. Keterbatasan ini mempengaruhi objektivitas dan reliabilitas pengauditan yang meupakan hal sangat penting ketika melakukan pengauditan terhadap implementasi, penggunaan dan pengendalian dana anggaran oleh pemerintah pusat dan regional.
Salah satu upaya penanganan kasus korupsi adalah dengan instrumen akuntansi/audit forensik atau sering disebut dengan investigative/fraud audit dan audit korupsi (corruption auditing). Akuntansi forensik atau audit investigasi menjadi semakin penting mengingat pernyataan yang pernah disampaikan Samutka (1980) benar. Dia mengatakan bahwa prosedur audit konvensional sudah tidak memadai untuk mendeteksi korupsi meskipun prosedur tersebut mampu memberikan sinyal adanya indikasi korupsi (red flags). Mulig dan Smith (2004) dalam Labuschagne dan Els (2006) menyatakan, akuntan dan auditor berada dalam posisi yang dapat berperan baik dalam mengembangkan dan membangun kebijakan-kebijakan internal, prosedur-prosedur dan pengendalian-pengendalian serta melakukan audit. Mereka juga mengatakan bahwa peran dan posisi akuntan dan auditor mengharuskan mereka bersikap proaktif dalam menginisiasi pengendalian organisasi untuk mengungkap kasus korupsi dan pencucian uang.
Efektifitas dan keunggulan audit forensik dibuktikan dengan beberapa kinerjanya yang begitu handal dalam penggungkapan kasus-kasus besar di dunia, seperti Enron, Adelphia, Computer Associates, Global Crossing dan lain sebagainya. Penerapannya pun telah banyak dilakukan di Indonesia seperti halnya dalam kasus Bapindo (Jakarta, kerugian Rp.1,3 triliun, 1 Februari 1994), Hongkong Bank (Jakarta, kerugian 79 miliar, 11 Januari 1996), Bank Bali (kerugian 900 miliar, 30 Juli 1999) dan banyak kasus-kasus lainnya yang telah berhasil diungkap. Di sektor publik/pemerintahan, pengungkapan kasus korupsi di pemerintah daerah kabupaten Badung, Bali tahun 2005 merupakan salah satu contoh keberhasilan penerapan audit investigatif.
Akuntansi forensik atau sebagian orang menyebutnya dengan Audit investigatif sudah cukup familiar bagi kita tetapi belum banyak studi yang mencoba menjelaskan tentang peran akuntansi dan auditing dalam upaya memberantas praktik korupsi. Hal ini tidak saja terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di berbagai negara lain. Masih sangat terbatas literatur-literatur tentang strategi anti-korupsi berdasarkan auditing (Di Tella dan Schargrodsky, 2001). Meskipun demikian, belakangan ini sudah ada beberapa studi yang mengkaji tentang peran akuntansi dan auditing dalam upaya pemberantasan praktik korupsi, antara lain Kimbro (2006), Khan (2006), Di Tella dan Schagrodsky (2001), Labuschagne dan Els (2006) dan Ferraz dan Finan (2007). Studi sebelumnya juga telah menujukkan bahwa auditing telah berhasil mengurangi angka korupsi secara rata-rata di Indonesia sebesar 8% dan berhasil mengurangi missing expenditure secara signifikan (Olken, 2007). Studi lain yang dilakukan oleh Giruox dan Shields (1993) menginvestigasi derajat karakteristik akuntansi dan auditing pada pemerintahan daerah (municipal government) yang mengarahkan kepada pengendalian internal yang efektif dan pengendalian perilaku birokrat. Di Indonesia, studi tentang audit investigatif yang dikaitkan dengan masalah korupsi telah dilakukan oleh Agustina dan Achsin (2008).
Kimbro (2006) menjelaskan hubungan antara variabel ekonomi, budaya dan pengawasan/informasi dengan praktik korupsi. Khan (2006) menjelaskan tentang peranan auditing dalam memerangi korupsi dan bermaksud mempopulerkan corruption auditing, sementara Tella dan Schargrodsky (2006) menguji pengaruh gaji pegawai negeri sipil dan auditing untuk menjelaskan praktik korupsi di Buenos Aires, Argentina. Labuschagne dan Els (2006) menyatakan bahwa meskipun auditor tidak berperan utama sebagai investigator tetapi dalam risetnya mereka menguji apakah auditor dibutuhkan untuk mempertimbangkan risiko korupsi dalam pemeriksaan yang mereka lakukan. Ferraz dan Finan (2007) meneliti tentang pengaruh publikasi laporan audit untuk mempelajari dampak informasi tentang praktik korupsi terhadap akuntabilitas pemilihan kepala daerah (electoral accountability).
MoUenhoff (1988), Kaufmann and Siegelbaum (1996), dan Rose-Ackerman (1998) dalam Kimbro (2006) berargumen pentingnya peningkatan probabilitas (penurunan insentif suap dan korupsi) dengan meningkatkan akuntabilitas, transparansi, tilikan yang independen, audit dan akses informasi. Menurut Kimbro sendiri, temuan-temuan dan argumen mereka sudah sangat baik dalam menjelaskan faktor-faktor penting dalam penanggulangan kecurangan dan korupsi, hanya saja penelitian-penelitian mereka tersebut belum memperhitungkan pentingnya peran akuntansi sebagai sebuah mekanisme pengontrolan praktik arbitrasi kekuasaan oleh pemerintah, sehingga dia melakukan kajian tentang peranan auditing dan laporan keuangan dalam menilik praktik korupsi.
Di Indonesia, literatur dan studi yang ada baru sebatas menjelaskan peranan akuntansi dan auditing sektor publik dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi publik (seperti Mardiasmo, 2001) tetapi belum banyak pengujian secara empiris dilakukan terhadap peran akuntansi forensik/audit investigatif maupun corruption auditing dalam pencegahan dan pengungkapan kasus korupsi. Satu diantara studi empiris yang belum banyak tersebut dilakukan oleh Agustina dan Achsin (2008) dengan sebuah studi kualitatif interpretif.
Hal ini sebenarnya menjadi sebuah topik yang menarik untuk dikaji apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini ilmu akuntansi dan auditing terus berkembang mengikuti perkembangan yang ada dalam dunia usaha dan pemerintahan. Sekarang kita mengenal adanya akuntansi forensik (forensic accounting), audit kecurangan (fraud auditing) dan yang terbaru dan belum banyak dikenal corruption auditing. Ilmu-ilmu ini diharapkan semakin berkembang dan berperan strategis ditengah gelombang korupsi yang semakin menjadi-jadi di Indonesia. Berdasarkan paparan di atas maka dapat kita tarik satu hal penting bahwa akuntansi dan auditing memainkan peranan yang penting dalam mencegah dan memerangi praktik korupsi. Artikel ini lebih jauh akan menjelaskan tentang perbedaan antara korupsi dangan kecurangan (fraud) karena Artikel ini membahas audit kecurangan dan corruption auditing sebagai dua hal yang berbeda, bentuk dan penyebab kecurangan, korupsi dan beberapa penyebabnya utamanya, corruption auditing dan peranan auditing dalam pendeteksian dan penginvestigasian korupsi, peran audit kinerja sebagai alat audit korupsi (corruption auditing) dan alat pencegahan praktik korupsi.

2. Kecurangan dan Korupsi
Banyak penulis menggunakan istilah “fraud/kecurangan” sebagai konsep generik untuk menyatakan tindakan-tindakan yang tidak jujur. Sebagai contoh Koornhoof dan Du Plessis (2000) menyatakan bahwa kecurangan manajemen (managemen fraud) dapat meliputi isu-isu seperti konflik kepentingan, penyuapan (bribery) dan korupsi (Kimbro, 2006). Korupsi dan kecurangan adalah dua hal yang berbeda. Menurut Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, kecurangan hanyalah bagian dari korupsi. Perbedaan ini menjadi penting untuk dipahami karena ketika menemukan kecurangan maka itu belum tentu menghapuskan praktik korupsi secara keseluruhan.

2.1 Kecurangan
Pengertian kecurangan ialah serangkaian irregularities dan illegal acts yang dilakukan untuk menipu atau memberikan gambaran kekeliruan terhadap pihak lain yang dilakukan pihak intern dan ekstern suatu organisasi dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri dan orang lain dengan merugikan orang lain (Anonim, 2000) dalam Ferdian dan Naim (2006). Kecurangan adalah tindak ketidakjujuran yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan cara-cara dan anjuran yang salah atau dengan melakukan pengingkaran terhadap kebenaran. Pengertian kecurangan sesuai Standar Profesional Akuntan Publik (PSA No.70 seksi 316.2 paragraf 4) adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan.
Secara garis besar yang banyak disoroti adalah accupational fraud (kecurangan terkait dengan jabatan) dan financial statement fraud (kecurangan laporan keuangan). Occupational fraud adalah penggunaan jabatan atau wewenang oleh seseorang untuk memperkaya diri sendiri melalui penyalahgunaan yang disengaja (misuse and misapplication) sumber daya dan kekayaan organisasi yang mempekerjakannya (ACFE Report to the Nation, 1996) dalam Hauck et al. (2006). The ACFE “fraud examiner manual” mendifinisikan kecurangan laporan keuangan sebagai salah saji yang disengaja dari kondisi keuangan suatu perusahaan/institusi yang dilakukan melalui salah saji yang disengaja atau kelalaian dalam perhitungan atau pengungkapan dalam laporan keuangan dengan tujuan membohongi pemakai laporan keuangan.
Kecurangan merupakan tindakan pidana yang menguntungkan diri sendiri atau organisasi atau keduanya (Albrecht, W. Steve dan Chad O. Albrecht, 2003) dalam Ferdian dan Naim (2006). Ada tiga motif seseorang melakukan kecurangan, yaitu (1) perceived pressure, (2) perceived opportunities, dan (3) rationalizations. Karni (2000) dalam Ferdian dan Naim (2006) menyebutkan bahwa kecurangan terjadi akibat tekanan kebutuhan dari seseorang, dan lingkungan yang memungkinkan untuk bertindak. GONE dalam Majalah Pemeriksa No.5 tahun 1993 merupakan singkatan dari G: Greed – keserakahan, ketamakan, kerakusan, O: Opportunity – kesempatan), N: Need – kebutuhan) dan E: Exposure – pengungkapan).

2.2 Korupsi dan Penyebabnya
Korupsi merupakan permasalahan yang komplek. Korupsi sudah ada sejak zaman dahulu sampai sekarang. Dengan adanya otonomi daerah, korupsi justru semakin tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Misalnya saja, pada tahun 2004 terungkapnya kasus korupsi terjadi hampir di seluruh pemerintahan daerah dengan nilai yang sangat material, membuktikan bahwa praktik korupsi telah semakin banyak terjadi. Khusus untuk korupsi di daerah, dalam laporan triwulanannya, Pusat Kajian Anti Tindakan Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa pada periode 2003-2007, korupsi di daerah menempati urutan teratas untuk perkara yang ditangani Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dengan angka total 73%. Sementara berdasarkan Trend Corruption Report semester I tahun 2008, sebanyak 38% dari 40 kasus korupsi di Indonesia terjadi di propinsi dan kabupaten/kota. Di Sumatera Barat, berdasarkan hasil laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang terjadi 103 kasus korupsi dengan kerugian negara diperkirakan sebesar 128 Milyar Rupiah. Upaya membasmi korupsi bukanlah pekerjaan yang mudah, ibarat “memutus siklus lingkaran setan” yang tidak akan ada habisnya.
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio berarti penyuapan, dan coruptore berarti merusak. United Nation Development Programme (UNDP) menyebutkan korupsi sebagai the misuse of public power, office or authority for prifat benefit-through bribery, excortion, influence feddling, fraud, speed money, or emblezzmen. Hampir sejalan dengan definisi UNDP, buku Controlling Corruption: A Parliamentarian’s Handbook memaknai korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan personal atau untuk keuntungan individual atau kelompok yang kepadanya seseorang berhutang kesetiaan/kepatuhan (Isra, 2008). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (pasal 2), korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan kegiatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian.
Menurut perspektif hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 pasal dalam UU Nomor 31 tahun 1999 dan UU Nomor 20 tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindakan pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan secara garis besar menjadi 7 (tujuh) kelompok yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
Hal penting lainnya yang perlu diketahui adalah penyebab terjadinya praktik korupsi tersebut. Ini menjadi penting karena dengan mengetahui penyebab-penyebabnya maka investigasi terhadap praktik atau tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan lebih baik, tepat dan efisien. Berbagai studi empiris telah menyatakan berbagai penyebab korupsi pada pemerintahan, seperti Mauro (1996) dan Tella dan Schargrodsky (2006). Mauro (1996) menyatakan bahwa salah satu penyebab utama korupsi adalah campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi dan secara umum dalam variabel-variabel yang termasuk dalam kebijakan pemerintah (government policy) seperti tarif impor dan gaji pegawai negeri sipil. Disamping penyebab yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, Mauro (1996) juga menyebutkan penyebab rent-seeking behavior yang berasal dari faktor lainnya yaitu natural-resources endowment dan sociological factors. Secara spesifik, Mauro (1996) menyebut istilah “rent-seeking behavior” sebagai biang keladi tindak korupsi di pemerintahan. Secara spesifik, Mauro menyebutkan beberapa penyebab korupsi yang telah diidentifikasi dalam berbagai literatur, yaitu:
1. Literatur rent-seeking menekankan restriksi dagang (trade restriction) sebagai salah satu sumber munculnya perilaku “rent-seeking” yang membawa kepada tindak korupsi melalui penyupan pihak pemerintah oleh pihak swasta.
2. Subsidi pemerintah dapat membentuk perilaku rent-seeking pada pemerintah. Hal ini dijelaskan oleh Clements, Hugounenq dan Schwartz (1995) dan Ades dan Di Tella (1995).
3. Pengendalian harga oleh pemerintah ternyata juga merupakan sumber munculnya perilaku rent-seeking.
4. Gaji pegawai negeri yang lebih rendah secara relatif terhadap sektor swasta juga merupakan salah satu penyebab korupsi. Dalam kondisi ini, Mauro menyebutnya sebagai low-level corruption.
Di Tella dan Schargodsky (2006) juga menemukan hubungan antara korupsi dan gaji pegawai disamping peranan auditing dalam mengurangi praktik korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam buku Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi menyebutkan ada lima faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu (1) faktor politik, (2) faktor hukum, (3) faktor ekonomi, (4) faktor birokratik dan (5) faktor transnasional.
Faktor politik dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab maraknya praktik korupsi karena banyaknya peristiwa politik yang dipengaruhi oleh faktor uang (money politics). Gomes (2004) dalam Isra (2008) menggambarkan politik uang sebagai use of money and material benefits in the pursuit of political influence. Dalam penyelenggaraan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah (pilkada), praktik politik uang seringkali muncul karena undang-undang tidak memberikan aturan yang tegas tentang dana kampanye. Dalam persepektif akuntansi, dana kampanye/partai politik hanya wajib dibukukan. Faktor hukum juga dipandang sebagai penyebab korupsi. Munculnya faktor hukum, bisa jadi terkait dengan pertanyaan: mengapa begitu sulit memberantas korupsi? Untuk kasus Indonesia, misalnya, banyak kalangan berpendapat, salah satu faktor yang menyebabkan korupsi sulit diungkapkan karena adanya aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi, dan memihak kepada pelaku korupsi.
Faktor ekonomi dan birokratis juga telah dijelaskan oleh Mauro (1996) dan Di Tella dan Schargodsky (2006). Dalam kaitannya dengan birokrasi, kebijakan ekonomi pemerintah dikembangkan, diimplementasikan dan dimonitor dengan cara yang tidak partisipatif, transparan dan bertanggungjawab. Sementara itu, faktor transnasional amat terkait dengan perkembangan lintas negara dalam kasus-kasus korupsi.
Pendapat yang tidak jauh berbeda, Palmer (1985) dalam Isra (2008) dalam studi komparasi terhadap control of bureaucratic corruption di Hongkong, India dan Indonesia mengidentifikasi tiga faktor penting yang menjadi penyebab korupsi yaitu opportunities (which depended on the extend of involvement of civil servant in the administration), salaries and pricing (the probably of detection and punishment). Sementara itu mnurut Klitgaard (1988) dalam Isra (2008), korupsi (C) terjadi karena monopoli (M) ditambah dengan adanya diskresi dari pemerintah/pihak berwenang (D). Monopoli dan diskresi dilakukan tanpa akuntabilitas (A). Pandangan Klitgaard ini diormulasikan menjadi C = (M+D) – A.

5 Comments:

  1. fauzan_maestro said...
    Ini bagian Pertama dari beberapa tulisan, jadi masih akan ada kelanjutannya.
    Anonim said...
    bagus banget pak sebuah karya tulis yang sangat bermanfaat sekali dan tetap lanjutkan pak hehehe ;)
    fauzan_maestro said...
    thank yan..
    Unknown said...
    Maaf pak boleh minta alamat emailnya?
    Xclmedia said...
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda