Blogger Template by Blogcrowds

Perkembangan standar akuntansi internasional yang seragam merupakan fenomena baru dan perkembangan standar yang seragam ini pun masih dalam tahap infancy. Sebagai contoh, Uni Eropa tidak mewajibkan penggunaan IFRS untuk perusahaan publik meraka sampai dengan tahun 2005. Hasilnya, masih relatif sedikit data yang mengungkapkan konsekuensi ekonomi dari kewajiban adopsi/penggunaan IFRS.
Ball (2006) menyediakan sebuah overview dari isu-isu seputar adopsi IFRS dan mengidentifikasi beberapa isu kunci yang mungkin membatasi keberhasilan dan efektifitas kewajiban IFRS. Meskipun begitu, beberapa dari konsep yang diajukan belum teruji karena kewajiban (mandat) adopsi IFRS masih sangat baru. Saat ini, hanya beberapa studi yang menganalisis konsekuensi ekonomi dari pengenalan pelaporan IFRS yang dimandatkan. Kebanyakan studi tersbut menguji keputusan sukarela (voluntary) perusahaan untuk menyediakan laporan keuangan yang sesuai (conform) dengan standar akuntansi internasioanl “yang berkualitas tinggi” (“high quality” international accounting standards). Soderstom dan Sun (2007) juga menyediakan hasil survey yang menguji link antara adopsi IFRS dengan kualitas angka-angka akuntansi perusahaan (firm’s accounting numbers).
Pengujian empiris konsekuensi ekonomi adopsi IFRS secara sukarela umumnya menganalisa dampak langsung terhadap pasar modal (seperti likuiditas dan biaya modal ekuitas) atau dampak terhadap berbagai partisipan pasar modal (seperti dampak terhadap properti peramalan analis atau kepemilikan oleh investor institusional). Contoh studi yang menguji dampak terhadap pasar modal dari pengadopsian IFRS secara sukarela antara lain Leuz dan Verrecchia (2000), Barth et al (2007), Karamanou dan Nishiotis (2005), Cuijpers dan Buijink (2005), Daske (2005), Hung dan Subramanyam (2007), dan Daske, Hail, Leuz, dan Verdi (2007a).
Leuz dan Verrecchia (2000) menguji perusahaan-perusahaan Jerman yang mengadopsi IAS atas US GAAP ddengan membandingkannya dengan stadar akuntansi domestik Jerman (HGB), dan menemukan bahwa perusahaan yang menggunakan IAS ayau US GAAP menunjukkan bid-ask spread yang lebih rendah, turnover yang lebih tinggi, penurunan dalam spread dan turnover dibandingkan dengan perusahaan yang menggunakan standar akuntansi domestik (German GAAP).
Cuijpers dan Buijink (2005) menggunakan estimasi biaya modal implikasian (implied cost of capital estimates) dan tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara perusahaan yang menggunakan standar lokal dengan IFRS di negara-negara Uni Eropa. Daske (2006) menguji adopsi IFRS secara sukarela oleh perusahaan-perusahaan Jerman dan menemukan bahwa perusahaan-perusahaan IFRS menunjukkan biaya modal ekuitas lebih tinggi daripada perusahaan-perusahaan dengan standar akuntansi Jerman. Daske, Hail, Leuz, and Verdi (2007a) menunjukkan bahwa perusahaan dengan komitmen “serius” untuk mengadopsi IFRS mempunyai biaya modal lebih tinggi manfaat biaya modal dan likuiditas pasar dibandingkan dengan perusahaan yang secara sederhana mengadopsi IFRS hanya sebagai “label”.
Karamanou and Nishiotis (2005) menguji return short-window announcement terhadap adopsi IFRS. Namun, tantangan terhadap studi ini adalah bahwa tipe studi ini dengan menggunakan reaksi terhadap short-window market juga menanngap efek berita yang secara potensial berhubungan dengan adopsi IFRS (seperti informasi tentang kesempatan pertumbuhan). Dengan demikian, tipe desain studi ini mungkin kurang layak untuk mengisolasi dampak dari adopsi IFRS.
Dengan memfokuskan pada kualitas pelaporan, Barth, Landsman and Lang (2007) menganalisis perubahan properti laba yang dilaporkan seputar adopsi pelaporan IFRS dan menujukkan bukti bahwa kualitas pelaporan keuangan meningkat. Hung and Subramanyam (2007) Hung and Subramanyam (2007) menguji sampel dari perusahaan Jerman dan menguji dampak pelaporan keuangan terhadap adopsi IAS antara tahun 1998 dan 2002. Mereka menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam relevansi nilai (value relevance) dari angka-angka akuntansi dengan adopsi IFRS, tetapi ada bukti yang lemah bahwa laba berdasarkan IAS menunjukkan konservatisme kondisonal yang lebih besar daripada laba yang dihasilkan dari pelaporan berdasarkan standar akuntansi Jerman.
Ada juga beberapa studi tentang reaksi partisipan pasar modal terhadap adopsi sukarela IFRS. Cuijpers and Buijink (2005) menemukan peningkatan analisi seputar IFRS, tetapi dampaknya tidaklah robust untuk mengontrol self selection. Covrig at al (2007) mendokumentasikan bahwa kepemilikan reksa dana (mutual fund) oleh pihak asing secara signifikan lebih tinggi untuk para adaptor IFRS dibadingkan dengan perusahaan dengan basis GAAP lokal dan bahwa perbedaan dalam kepemilikan reksa dana meningkat untuk perusahaan dengan lingkungan informasi yang jelak (poor information environments) dan dengan fisibilitas yang rendah, menyarankan bahwa pelaporan IFRS dapat membantu perusahaan menarik investor institusional asing. Sebagai tambahan, bukti sekitar adopsi IFRS secara sukalera memang masih tidak konsisten (mixed).
Sebagaimana disampaikan di atas mengenai diskusi seputar literatur pengungkapan sukarela, tantangan utama untuk studi semacam itu adalah fakta bahwa perusahaan memilih bagaimana dan kapan mengadopsi IFRS. Sehingga, masih sulit untuk mengatribusikan dampak observasian terhadap adopsi IFRS.
Lebih lanjut, studi tentang keputusan pelaporan keuangan berbasis IFRS secara sukarela hanya dapat memberikan sedikit bukti kepada kita tentang dampak agregat dari mandated IFRS.
Sekarang kita lihat beberapa studi dengan pendakatan sedikit berbeda yang menguji konsekuensi ekonomi dalam masa transisi kewajiban pelaporan berbasis IFRS. Studi yang ada dalam masa transisi ini secara umum menguji:
(i) Reaksi pasar modal terhadap major events sebelum adopsi IFRS yang mempengaruhi kemungkinan bahwa sebuah yurisdiksi (seperti Uni Eropa) akan mengadopsi mandatory IFRS.
(ii) Atau outcomes pasar modal observasian setelah pengenalan mandatory IFRS dalam sebuah yurisdiksi.
Studi pada kategori pertama menggunakan reaksi pasar modal untuk menyimpulkan apakah pemegang saham mempersepsikan net benefit atau net cost dari adopsi IFRS. Beberapa penelitian dengan pendekatan kategori pertama ini membandingkan insentif dan enforcement antara negara dengan insentif dan enforcement yang kuat dengan yang lebih lemah. Beberapa peneliti dengan kategori ini antara lain Comprix at al (2003) dan Amstrong at al (2007). Beberapa temuan penelitian mereka adalah bahwa reaksi pasar modal lebih positif pada perusahaan dengan kualitas lingkungan pelaporan yang lebih rendah sebelum IFRS (pre-IFRS), dengan asimetri informasi yang lebih tinggi sebelum adopsi IFRS, dan untuk perusahaan dari negara-negara common law.
Studi pada kategori kedua menganalisi dampak pasar modal setelah kewajiban adopsi IFRS. Sebagai contoh, Platikanova (2007) menguji ukuran likuiditas pasar pada perusahaan-perusahaan di empat negara Eropa. Selain menemukan perubahan heterogen dalam ukuran likuiditas di empat negara setelah adopsi IFRS, Platikanova (2007) juga menemukan bahwa secara penurunan secara keseluruhan dalam perbedaan likuiditas antar negara setelah adopsi IFRS. Daske, Hail, Leuz and Verdi (2007b) juga menguji dampak adopsi IFRS di 26 negara terhadap likuiditas pasar, biaya modal ekuitas dan Tobin’s Q. Mereka menemukan bahwa, secara rata-rata, likuiditas pasar dan penilaian ekuitas meningkat di sekitar pengenalan adopsi mandatory IFRS di negara-negara yang mereka uji. Namun, keunggulan dan manfaat pasar ini hanya ada di negara-negara dengan rezim strict enforcement dan lingkungan institusioal yang menyediakan insentif pelaporan yang kuat. Menariknya, mereka menemukan bahwa dampak pasar modal setelah adopsi wajib IFRS adalah lebih pronounced untuk perusahaan-perusahaan yang pada awalnya secara sukarela (voluntarily) beralih ke IFRS sebelum menjadi diwajibkan.
Semakin banyak data yang tersedia, tidaklah diragukan lagi bahwa akan banyak temuan-temuan empiris tentang outcomes dari adopsi mandatory IFRS di banyak negara-negara di dunia. 

0 Comments:

Post a Comment



Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda